headlinejatim.com —Tidak ada yang luar biasa pada hari itu. Hanya seorang pria bernama Jack Dorsey yang duduk di depan komputer dan membuat akun di platform baru yang tengah ia kembangkan bersama timnya. Namun, 6 Juli 2006 kemudian tercatat sebagai hari lahirnya Twitter, sebuah platform digital yang kelak mengubah cara manusia berbicara kepada dunia.
Twitter lahir bukan dari ruang-ruang megah Silicon Valley, melainkan dari ide sederhana yang berakar pada keinginan untuk berkomunikasi secara cepat dan ringkas. Saat itu, pesan teks masih dibatasi 160 karakter. Tim Twitter memutuskan untuk memberi ruang 140 karakter kepada pengguna, menyisakan sisanya untuk nama pengirim. Siapa sangka, batasan itu justru memicu revolusi dalam gaya komunikasi manusia modern.
Dari Prototipe Sunyi Menuju Panggung Global
Twitter mulanya dikembangkan sebagai proyek eksperimental dalam perusahaan podcast Odeo. Nama awalnya bahkan masih dieja sebagai “twttr”. Tidak ada peluncuran mewah, tidak ada kampanye besar. Hanya sebuah cuitan pertama dari Jack Dorsey yang berbunyi: “just setting up my twttr.”
Layanan ini dibuka untuk publik pada 6 Juli 2006. Sejak hari itu, dunia mulai belajar bahwa satu kalimat pendek bisa lebih bermakna dibanding pidato panjang. Twitter tumbuh perlahan, lalu meledak dalam popularitas setelah tampil dalam konferensi teknologi SXSW pada 2007. Dunia mulai mendengar denting kecil dari sebuah platform yang segera menjadi pengeras suara global.
Ruang Sunyi Menjadi Tempat Ribuan Suara
Twitter memberi ruang bagi banyak orang yang sebelumnya tidak pernah didengar. Seorang ibu rumah tangga bisa menyampaikan keluhan pelayanan publik. Seorang mahasiswa bisa menyuarakan keresahan politik. Seorang warga dari pelosok bisa membagikan kabar bencana sebelum media sempat melaporkannya.
Lebih dari sekadar jejaring sosial, Twitter menjadi cermin masyarakat. Ia merekam gejolak, mencatat harapan, dan menyimpan jejak sejarah. Dari peristiwa Arab Spring di Timur Tengah hingga gerakan #MeToo dan #BlackLivesMatter di berbagai negara, Twitter menjadi saksi lahirnya solidaritas digital.
Ketika Dunia Menyapa dalam Satu Baris Kalimat
Di tangan para pemimpin dunia, Twitter menjadi saluran diplomasi. Di tangan jurnalis, ia menjadi sumber informasi tercepat. Di tangan rakyat biasa, Twitter menjelma menjadi alat kontrol kekuasaan dan ruang berbagi empati.
Tak sedikit pula momen haru dan jenaka yang terjadi di sana. Cerita tentang pertemuan kembali keluarga yang terpisah, lelucon yang viral, hingga doa bersama dalam tagar saat dunia sedang berduka. Semua berlangsung dalam ruang yang sama, singkat, sederhana, dan langsung menyentuh.
Dari Twitter ke X, Dunia Terus Berkembang
Pada 2022, Twitter diakuisisi oleh Elon Musk. Setahun kemudian, namanya berganti menjadi “X”. Meskipun tampilannya berubah, ingatan tentang Twitter tetap melekat. Ia adalah tempat di mana banyak dari kita pertama kali merasa didengar.
Twitter adalah lebih dari sekadar media sosial. Ia adalah ruang manusia bertemu, saling menyapa, bertanya, marah, tertawa, bahkan diam bersama. Dan semua itu dimulai pada satu hari biasa, 6 Juli 2006 ketika dunia mulai belajar berkata dalam satu kalimat pendek yang menggetarkan ribuan hati.