headlinejatim.com —Pada setiap tanggal 12 Juli, dunia memperingati Simplicity Day atau Hari Kesederhanaan. Sebuah momen yang lahir dari pemikiran Henry David Thoreau, seorang filsuf dan penulis Amerika Serikat yang meyakini bahwa hidup akan menemukan maknanya ketika kita memilih untuk sederhana.
Thoreau pernah menyendiri di tepi danau Walden, tinggal dalam pondok kayu kecil yang ia bangun sendiri. Ia menanam makanannya, menulis pemikirannya, dan menjalani hari-hari tanpa tergesa. Hidupnya tidak gemerlap, tetapi penuh makna. Tidak banyak, tetapi cukup.
Namun jauh sebelum dunia mengenal Thoreau dan falsafah hidup sederhananya, masyarakat Nusantara telah lama menghidupi nilai-nilai kesederhanaan. Tidak dari buku, tetapi dari kehidupan itu sendiri. Dari cara orang-orang kita menanam padi, menjemur ikan, menanak nasi, dan duduk bersila di atas tikar bersama keluarga.
Kesederhanaan yang Tidak Pernah Kehilangan Rasa
Di banyak rumah di pelosok Indonesia, makanan tidak pernah rumit. Tidak perlu oven canggih, tidak harus berlapis-lapis saus. Cukup dengan api dari kayu bakar, cobek batu, dan tangan ibu yang lembut. Tempe digoreng hangat, ikan asin dipadukan sambal uleg, dan sayur bening hadir dalam mangkuk kecil yang diwariskan turun-temurun.
Semua tampak biasa, tetapi sesungguhnya luar biasa. Karena di situlah cinta diletakkan. Karena dari tangan yang sederhana itulah lahir rasa yang mengikat, yang membuat kita rindu pulang, bahkan sebelum kita sempat pergi jauh.
Kesederhanaan ini tidak hanya hidup di dapur. Ia tumbuh dalam nilai. Dalam falsafah Jawa yang mengajarkan urip iku urup, bahwa hidup seharusnya memberi cahaya, bukan membakar. Dalam semangat gotong royong masyarakat Bali, yang membagi air sawah secara adil dalam sistem Subak. Dalam cara orang Bugis membuat makanan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk siapa pun yang datang dan butuh makan.
Ketika Makanan Menjadi Cermin Jiwa
Kuliner Nusantara tidak dibentuk oleh obsesi akan kesempurnaan rupa, tetapi oleh keikhlasan rasa. Setiap resep lahir dari kebutuhan, dari kebersamaan, dan dari pemahaman bahwa hidup tidak perlu banyak untuk bisa berarti. Ikan lemuru yang diasap di Muncar Banyuwangi bukan hanya pengawet tradisional, melainkan bagian dari kebudayaan. Tempe yang dibungkus daun bukan sekadar makanan, melainkan identitas.
Di Papua, budaya bakar batu mengumpulkan seluruh kampung dalam satu perjamuan. Di Nusa Tenggara Timur, jagung bose dimasak bersama keluarga sebagai lambang kehangatan. Di Minangkabau, dapur menjadi jantung rumah, tempat nilai diwariskan melalui rasa.
Di setiap sudut Nusantara, makanan bukan hanya urusan perut. Ia adalah warisan. Ia adalah doa. Ia adalah cara manusia Indonesia bersyukur kepada alam, dan kepada sesama.
Kembali ke Akar, Kembali ke Diri
Simplicity Day seharusnya tidak hanya menjadi penanda di kalender. Ia adalah pengingat bahwa dalam dunia yang terus bergerak cepat, kita selalu bisa memilih untuk pelan. Bahwa di tengah hiruk-pikuk konsumsi dan layar digital, kita bisa kembali kepada yang nyata. Kepada sepiring nasi hangat, tawa anak-anak, dan obrolan ringan di teras rumah saat senja datang.
Mungkin kita tidak bisa membangun pondok seperti Thoreau, tetapi kita bisa membangun ruang dalam diri untuk kembali merasa cukup. Mungkin kita tidak tinggal di tengah hutan, tetapi kita bisa menciptakan ketenangan dari hal-hal sederhana: merawat tanaman, memasak makanan sendiri, menyapa tetangga.
Di sinilah letak kemewahan yang sesungguhnya. Bukan pada apa yang kita miliki, tetapi pada bagaimana kita memaknai apa yang kita miliki. Bukan pada berapa banyak yang kita dapatkan, tetapi pada apakah kita mampu merasa cukup.
Hidup Sederhana, Hidup yang Penuh
Indonesia adalah tanah air yang kaya. Namun kekayaan itu tidak selalu diukur dari jumlah. Ia terletak pada nilai. Pada kesediaan untuk berbagi meski hanya punya sedikit. Pada kegigihan untuk tetap tersenyum di tengah keterbatasan. Pada kemampuan untuk merayakan hidup meski sederhana.
Simplicity Day hanyalah satu hari. Tetapi ajarannya bisa hidup setiap hari. Selama kita masih mau duduk bersama, makan dengan syukur, dan memeluk hidup dengan hati yang ringan.
Karena sesungguhnya, hidup tidak harus rumit untuk bisa bahagia. Ia hanya perlu dijalani dengan jujur, diterima dengan ikhlas, dan dirayakan dengan sederhana.