headlinejatim.com—9 Juli bukan hari libur nasional. Tidak ada parade, tak pula pesta rakyat. Namun bagi pegiat lingkungan, tanggal ini adalah titik hening yang mengguncang: peringatan tak resmi Hari Harimau Indonesia, sebuah refleksi sunyi tentang makhluk agung yang kini hampir sepenuhnya dilupakan.
Indonesia adalah negeri yang dahulu kaya akan keanekaragaman hayati. Tiga subspesies harimau pernah menjadi penjaga rimba Nusantara: Harimau Bali, Harimau Jawa, dan Harimau Sumatera. Namun hari ini, hanya satu yang tersisa.
Meski belum ditetapkan secara resmi oleh pemerintah, berbagai komunitas lingkungan dan konservasi menjadikan awal Juli, termasuk 9 Juli, sebagai momen penting untuk menyuarakan ancaman kepunahan Harimau Sumatera—raja terakhir yang masih bertahan.
Satu Bertahan, Dua Telah Hilang
Hilangnya dua dari tiga harimau Indonesia bukan cerita mitologi, melainkan sejarah ekologis yang memilukan.
Harimau Bali (Panthera tigris balica) dinyatakan punah sejak 1937. Subspesies ini memiliki tubuh terkecil dan endemik hanya di Pulau Bali. Terakhir tercatat tertembak di wilayah Sumbar Kima, Bali Barat.
Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) menghilang tanpa jejak sejak akhir 1970-an. Meski pemerintah belum menetapkan status resminya, IUCN telah menyatakan harimau ini punah sejak 2008. Ia pernah hidup di kawasan Meru Betiri, Pegunungan Dieng, hingga Ujung Kulon. Tubuhnya ramping, coraknya tajam, dan dalam budaya lokal, harimau ini dikenal sebagai simbol kewibawaan dan penyeimbang alam.
Kini, hanya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang masih hidup di alam liar. Namun keberadaannya terus terdesak oleh aktivitas manusia.
Populasi Kritis di Tengah Fragmentasi Habitat
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Forum HarimauKita, populasi Harimau Sumatera di alam liar saat ini diperkirakan tidak lebih dari 600 ekor. Mereka tersebar di sisa-sisa hutan di:
- Taman Nasional Kerinci Seblat
- Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
- Taman Nasional Gunung Leuser
- Taman Nasional Berbak Sembilang
- Hutan lindung di Riau, Jambi, Bengkulu, dan Aceh
Tantangan utama yang mengancam keberlanjutan spesies ini mencakup:
- Perburuan liar, untuk perdagangan kulit, taring, dan bagian tubuh lain.
- Konflik manusia-satwa liar, akibat menyempitnya habitat.
- Alih fungsi lahan menjadi kebun sawit, pertambangan, atau pemukiman.
- Fragmentasi habitat, yang membatasi ruang jelajah dan proses reproduksi.
Data TRAFFIC pada 2022 mencatat bahwa Indonesia masih menjadi salah satu sumber terbesar perdagangan ilegal bagian tubuh harimau di Asia Tenggara.
9 Juli: Bukan Sekadar Tanggal
Mengapa tanggal 9 Juli?
Tidak ada peristiwa tunggal yang membuat tanggal ini dipilih. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tanggal ini telah dijadikan titik refleksi oleh banyak komunitas konservasi. Momentum ini dimanfaatkan untuk kampanye edukasi di sekolah, aksi tanam pohon, mural bertema harimau, penggalangan dana untuk patroli satwa, dan pemasangan kamera jebak.
Di berbagai titik taman nasional, masyarakat, pelajar, dan aktivis berdiri di tepi hutan dengan poster sederhana bertuliskan “Selamatkan Raja Terakhir.” Di kota, seniman melukis wajah harimau di tembok yang memudar. Mereka tahu, kalau suara ini tidak dijaga, satu-satunya harimau yang tersisa akan menyusul dua saudaranya: hilang dalam diam.
Mengapa Harimau Harus Dipertahankan?
Harimau adalah predator puncak. Ia menjaga keseimbangan populasi satwa herbivora, yang jika tidak terkendali, dapat merusak vegetasi dan merusak seluruh siklus ekosistem.
Lebih dari itu, harimau adalah penjaga simbolik dan spiritual dalam budaya Nusantara. Dalam falsafah Jawa, “macan” menjadi lambang kewibawaan, keberanian, dan keseimbangan alam. Punahnya harimau bukan hanya bencana ekologi, tetapi juga kehilangan simbol kebijaksanaan leluhur.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Penyelamatan harimau tidak harus dilakukan di tengah hutan. Ia bisa dimulai dari ruang-ruang kehidupan kita. Langkah konkret yang bisa dilakukan masyarakat umum antara lain:
Menolak produk dari perusahaan perusak hutan, terutama yang tidak memiliki sertifikasi berkelanjutan.
Tidak membeli produk atau suvenir yang berasal dari bagian tubuh satwa liar.
Mendukung donasi konservasi, baik melalui lembaga seperti WWF, Forum HarimauKita, atau Taman Nasional.
Mengkampanyekan pengesahan Hari Harimau Indonesia sebagai peringatan nasional, agar menjadi arus utama edukasi ekologi.
Menolak Punah, Menolak Diam
Hari ini, 9 Juli, adalah saat yang tepat untuk berhenti sejenak dan mendengarkan. Bukan pada suara manusia, tetapi pada jerit hutan yang kehilangan nadinya. Pada jejak harimau yang kian langka. Pada deru auman yang mungkin tinggal kenangan.
Kita sudah kehilangan Harimau Bali. Kita sudah kehilangan Harimau Jawa. Dan kini kita berdiri di persimpangan sejarah.
Apakah Harimau Sumatera akan menyusul? Atau akankah kita akhirnya benar-benar belajar?
Jika kita masih diam, maka yang punah bukan hanya harimau tetapi juga rasa tanggung jawab kita sebagai manusia.
Redaksi menerima opini, infografis, dan karya literasi tentang konservasi alam dari pembaca. Kirim tulisan Anda ke redaksi@[www.headlinejatim.com]