Retakan Tanah, Jerit Bumi: Sebuah Panggilan dari 17 Juni

headlinejatim.com— Ketika kaki melangkah menyusuri tanah yang kering dan pecah-pecah, kita tidak hanya menyentuh kerak bumi, kita menyentuh luka. Luka yang selama bertahun-tahun dibiarkan menganga karena keserakahan, kelalaian, dan kadang ketidaktahuan. Retakan itu bukan hanya tanda kekeringan, tapi juga simbol dari keretakan relasi kita dengan alam.

Setiap tanggal 17 Juni, dunia memperingati Hari Penanggulangan Desertifikasi dan Kekeringan Sedunia. Mungkin terdengar jauh dan tak berkaitan langsung dengan kehidupan harian kita. Tapi jika kita berani membuka mata lebih lebar, kita akan melihat: persoalan ini sedang mengetuk pintu Indonesia dengan suara yang kian lantang.

Read More

 

Bumi yang Sakit, Kita yang Tercekik

Desertifikasi bukan hanya tentang gurun pasir yang meluas. Ini tentang rusaknya lahan produktif yang tadinya bisa memberi makan, tetapi kini hanya menyisakan debu. Ini tentang kekeringan panjang yang merampas air dari akar padi, dari ladang jagung, dari kolam ikan rakyat. Ini tentang perubahan iklim, kebijakan agraria yang gegabah, dan pembabatan hutan yang membabi buta.

Data dari UNCCD (United Nations Convention to Combat Desertification) menunjukkan bahwa lebih dari 40% lahan dunia kini mengalami degradasi, mengancam hidup lebih dari 3,2 miliar orang. Setiap tahunnya, lahan produktif seluas hampir 12 juta hektare lenyap,. Setara dengan 23 lapangan sepak bola setiap menitnya.

 

Indonesia Tak Kebal

Indonesia, meski kaya akan hujan dan hutan, tak luput dari ancaman ini. Wilayah-wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, hingga pesisir Kalimantan dan Papua mulai menunjukkan gejala kekeringan kronis dan degradasi lahan serius. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sekitar 24 juta hektare lahan di Indonesia telah mengalami degradasi. Setara dengan lebih dari tiga kali luas Pulau Jawa.

Tahun 2024 lalu, Indonesia kehilangan lebih dari 260 ribu hektare tutupan hutan, sebagian besar akibat pembukaan lahan legal maupun ilegal. Meski pemerintah menjalankan program rehabilitasi hutan dan lahan gambut, laju pemulihan masih tertinggal dari kecepatan kerusakan.

Kemarau 2025, menurut BMKG, memang tidak seekstrem 2023. Namun, risiko kekeringan tetap tinggi, terutama di Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi. Ancaman kebakaran hutan pun kembali mengintai, memperparah krisis iklim dan kesehatan udara.

 

Petani dan Perempuan di Garis Depan

Yang pertama kali merasakan sakitnya tanah yang rusak adalah mereka yang hidup dari bumi: para petani, peternak, dan perempuan pedesaan. Ketika sawah retak karena hujan tak datang, ketika ladang menjadi debu, dan ketika air sumur menyusut, mereka kehilangan segalanya.

Ironisnya, mereka pula yang seringkali paling tak punya kuasa atas lahan. Tema peringatan global tahun 2025 ini, “Her Land, Her Rights”, menyoroti bagaimana akses lahan bagi perempuan bukan hanya soal keadilan sosial, tapi juga strategi menyelamatkan bumi. Karena ketika perempuan punya hak atas tanah, data menunjukkan mereka lebih mungkin mengelolanya dengan cara lestari, menanam keanekaragaman hayati, dan memperkuat ketahanan pangan keluarga.

 

Antara Janji dan Realita: Di Mana Kita Berdiri?

Pemerintah telah menargetkan restorasi jutaan hektare lahan, pembangunan ribuan embung, hingga proyek 20.000 pompa air untuk memperkuat sistem irigasi. Tapi realitanya, kebijakan konversi lahan skala besar, seperti proyek food estate dan energy estate, masih kerap menimbulkan polemik. Banyak dari lahan yang dialihfungsikan justru berada di kawasan hutan lindung atau lahan gambut yang rentan.

Jika tak hati-hati, niat baik bisa berubah jadi bumerang yang mempercepat degradasi. Maka yang kita butuhkan bukan hanya target angka, tapi juga pengawasan kuat, partisipasi masyarakat lokal, dan transparansi kebijakan yang berpihak pada kelestarian.

 

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kadang kita bertanya: apa artinya satu orang, satu rumah, satu komunitas dalam menghadapi kerusakan sebesar ini?

Ternyata, dampak kolektif dari langkah kecil bisa sangat berarti:

  • Menanam pohon lokal di halaman, sekolah, dan lahan kritis.
  • Mengelola air secara bijak dan menampung air hujan.
  • Memilih produk pangan lokal yang ditanam secara berkelanjutan.
  • Mendorong kebijakan agraria adil, mendukung perempuan petani, dan menolak eksploitasi sumber daya tanpa batas.

 

Retakan yang Bisa Disembuhkan

Tanah yang retak belum tentu mati. Ia menunggu tangan yang merawat, bukan sekadar mengeksploitasi. Ia menanti manusia yang tak hanya menanam demi panen cepat, tapi menanam untuk hidup jangka panjang.

Peringatan 17 Juni ini bukan hanya milik para aktivis lingkungan. Ini milik kita semua. Milik anak-anak yang akan tumbuh di dunia yang kita wariskan. Milik petani kecil yang menunggu hujan. Milik bumi yang sudah terlalu lama menjerit dalam diam.

Maka, mari kita menjawabnya bukan dengan seremoni, tapi dengan aksi. Bukan dengan jargon, tapi dengan perbuatan. Karena menjaga tanah berarti menjaga kehidupan itu sendiri.

Dan tidak ada hidup yang bisa tumbuh di tanah yang telah kita biarkan mati.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *