12 Juni: Menolak Sunyi di Balik Pekerja Anak

headlinejatim.comSetiap tanggal 12 Juni, dunia berhenti sejenak untuk mendengar suara-suara kecil yang selama ini terpinggirkan. Mereka adalah anak-anak. Masih berseragam sekolah dalam usia, tetapi telah menggendong beban hidup yang tak seharusnya ditanggung. Hari ini dikenal sebagai Hari Dunia Menentang Pekerja Anak (World Day Against Child Labour). Sebuah seruan global untuk memutus rantai eksploitasi terhadap masa depan yang belum sempat mekar.

Dicanangkan pertama kali oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2002, peringatan ini bukan sekadar simbolik. Ia adalah pengingat bahwa di tengah kemajuan peradaban, jutaan anak masih terjebak dalam lingkaran kerja paksa. Di ladang, pabrik, tambang, hingga jalanan kota, mereka kehilangan hak paling dasar sebagai anak. Belajar, bermain, dan tumbuh dalam lingkungan yang aman.

Read More

Dunia yang Belum Ramah Anak

Menurut laporan ILO tahun 2021, terdapat 160 juta anak di seluruh dunia yang terlibat dalam pekerja anak.

  • 97 juta di antaranya adalah anak laki-laki.
  • 63 juta adalah anak perempuan.
  • Dan lebih dari 70% bekerja di sektor pertanian, sering kali dalam kondisi yang tidak manusiawi.

Yang lebih memprihatinkan, 79 juta anak berada dalam pekerjaan berbahaya. Membawa bahan kimia beracun, mengangkat beban berat, atau bekerja dalam suhu ekstrem. Mereka kehilangan sekolah, waktu istirahat, bahkan masa kecil itu sendiri.

Pandemi COVID-19 memperparah keadaan. Ketika sekolah-sekolah ditutup dan ekonomi keluarga runtuh, jutaan anak terpaksa kembali ke dunia kerja. Krisis global itu menciptakan generasi yang lebih rentan terhadap eksploitasi, menipiskan harapan akan perubahan.

Janji Global: Akhiri di Tahun 2025

Hari Dunia Menentang Pekerja Anak bukan hanya soal simpati, melainkan aksi nyata. Melalui komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Target 8.7, dunia berjanji untuk menghapus semua bentuk pekerja anak pada tahun 2025.

Namun waktu terus berjalan. Tanpa intervensi yang signifikan, janji itu tinggal slogan.

Berbagai inisiatif telah digagas:

  • Alliance 8.7, sebuah koalisi global lintas sektor untuk mempercepat eliminasi pekerja anak.
  • Tahun Internasional Penghapusan Pekerja Anak (2021), yang dicanangkan PBB untuk menggugah komitmen negara-negara.
  • Konferensi Global tentang Penghapusan Pekerja Anak yang rutin diselenggarakan ILO, sebagai ruang dialog dan strategi lintas negara.

Pekerja Anak di Indonesia: Realita yang Masih Ada

Di Indonesia, data dari BPS dan ILO tahun 2023 mencatat setidaknya 1,1 juta anak usia 10–17 tahun masih terlibat dalam pekerja anak.

Sebagian besar berasal dari keluarga miskin, tinggal di daerah terpencil, dan memiliki akses pendidikan yang terbatas.

Provinsi-provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Kalimantan Barat mencatat angka tertinggi.

Kita tidak bisa menutup mata. Eksploitasi anak bukan hanya soal kemiskinan, tetapi juga sistem sosial yang gagal melindungi. Ini adalah kegagalan bersama.

Menanam Perubahan, Menjaga Masa Depan

Setiap tangan yang menolak pekerja anak adalah tangan yang menanam harapan. Pemerintah, dunia usaha, komunitas, media, hingga individu. Semua punya peran untuk menciptakan dunia yang lebih adil bagi anak-anak.

Hari ini, mari kita berhenti sejenak dan bertanya.

Apakah kita sudah cukup lantang membela mereka yang belum bisa bersuara?

Sebab masa depan tidak lahir dari mesin-mesin pabrik atau ladang-ladang yang dikerjakan anak-anak. Masa depan lahir dari sekolah yang terbuka, rumah yang aman, dan dunia yang percaya bahwa masa kecil adalah hak, bukan kemewahan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *