Hari Jagung Serut Dunia, Sebatang Jagung dan Cerita tentang Pangan, Rasa, dan Peradaban

headlinejatim.comTepat pada tanggal 11 Juni, sebagian kecil masyarakat dunia merayakan sesuatu yang tampak sederhana, namun sarat makna: Corn on the Cob Day, atau yang dalam bahasa kita bisa disebut Hari Jagung Serut Dunia. Di tengah riuhnya kalender peringatan global yang sering kali dipenuhi oleh urusan politik, teknologi, dan peristiwa sejarah besar, perayaan ini hadir seperti bisikan lembut dari ladang. Mengingatkan kita akan satu hal mendasar, yakni pangan adalah jembatan antara manusia, tanah, dan budaya.

Jagung: Lebih dari Sekadar Makanan

Jagung telah lama menjadi bagian dari peradaban manusia. Sekitar 9.000 tahun lalu, di dataran tinggi Meksiko, masyarakat kuno pertama kali membudidayakan tanaman liar yang kemudian berevolusi menjadi jagung seperti yang kita kenal hari ini. Bagi suku Maya, Aztek, dan Inka, jagung bukan hanya sumber energi, tetapi bagian dari mitologi. Mereka percaya manusia pertama diciptakan dari jagung. Dalam naskah suci Popol Vuh, jagung adalah tubuh manusia. Ia adalah sumber kehidupan.

Read More

Ketika kolonialisasi dan pertukaran tanaman antar-benua terjadi, jagung menyebar ke seluruh dunia. Termasuk ke Asia Tenggara. Di mana pun ia tumbuh, jagung hampir selalu diasosiasikan dengan kehidupan yang sederhana namun kokoh. Ia tidak banyak menuntut, bisa hidup di tanah keras sekalipun, dan tetap memberikan hasil.

Corn on the Cob Day: Menghormati yang Sederhana

Perayaan Corn on the Cob Day tidak berasal dari lembaga besar, tidak pula disahkan oleh negara atau badan internasional. Ia lahir dari akar rumput, secara harfiah dan simbolis. Sekitar awal tahun 2000-an, komunitas petani lokal dan penggerak kuliner di beberapa negara bagian pertanian Amerika Serikat, seperti Iowa, Indiana, dan Nebraska, mulai mengenalkan tanggal 11 Juni sebagai hari untuk merayakan jagung dalam bentuknya yang paling jujur: direbus atau dibakar, disajikan apa adanya, langsung dari tongkolnya.

Di sana, hari ini dirayakan dengan kebersamaan. Pasar tani, festival kecil, dan meja-meja kayu di ladang menjadi tempat berkumpul. Tak ada protokol resmi. Hanya tawa, musik akustik, dan aroma jagung manis yang hangus perlahan di atas arang. Jagung dibakar, dioles mentega, diberi sedikit garam, atau kadang lada dan rempah-rempah khas masing-masing keluarga. Ini adalah pesta kecil yang mengangkat pangan lokal ke posisi yang layak, dihargai, bukan diabaikan.

Makanan Sebagai Memori: Mengapa Jagung Menyentuh Jiwa?

Makanan selalu punya kemampuan untuk membawa kita kembali pada ingatan yang paling manusiawi. Sebatang jagung bakar yang hangus di tepi jalan, di antara suara malam dan percikan hujan ringan, bisa menghidupkan kembali kenangan masa kecil. Bau khasnya yang hangat, sensasi mengerat bijinya langsung dari tongkol, lengket mentega di jari. Semuanya adalah pengalaman inderawi yang menyatu dengan batin.

Corn on the Cob Day sejatinya mengingatkan kita bahwa makanan terbaik bukanlah yang paling mewah, melainkan yang paling dekat. Dengan tanah tempat ia tumbuh, dengan tangan yang menanam, dan dengan hati yang menyajikannya.

Refleksi Indonesia: Jagung yang Terpinggirkan, Tapi Tak Pernah Tersingkirkan

Di Indonesia, jagung adalah kisah yang lama namun sering dilupakan. Di wilayah-wilayah seperti Flores, Timor, Sumba, Gorontalo, dan bagian Sulawesi, jagung adalah makanan pokok yang bertahan sebelum beras dimuliakan secara nasional. Jagung bose, jagung titi, milu siram. Semuanya lahir dari kreativitas masyarakat dalam mengolah hasil ladang menjadi hidangan yang bergizi dan mengenyangkan.

Namun kini, jagung sering kali dipandang sebagai makanan lapis kedua. Diperlakukan lebih sebagai komoditas untuk pakan ternak daripada sumber pangan manusia. Padahal, jagung menyimpan potensi besar dalam mendukung ketahanan pangan, terlebih di tengah krisis iklim dan ketergantungan terhadap beras yang makin tidak sehat dari sisi ekologi dan ekonomi.

Merayakan Corn on the Cob Day di Indonesia, walau belum menjadi arus utama, bisa menjadi langkah simbolik yang sangat berarti. Bukan untuk meniru budaya luar, tapi untuk menghidupkan kembali nilai yang sudah lama ada di dalam diri kita: menghargai hasil tanah sendiri.

Gigit Jagung, Rasakan Dunia

Pada akhirnya, Corn on the Cob Day bukan hanya tentang makan jagung. Ini adalah ajakan untuk merenungi darimana makanan kita berasal, siapa yang menanamnya, dan bagaimana kita memaknainya. Di dunia yang semakin instan dan artifisial, jagung di atas tongkolnya adalah lambang keaslian. Ia tidak dimanipulasi bentuknya, tidak dibungkus plastik, dan tidak butuh teknologi tinggi untuk dinikmati. Ia hanya butuh waktu untuk direbus, dibakar, dan disantap bersama.

Maka pada tanggal 11 Juni, entah di ladang, di dapur, atau di tepi jalan tempat pedagang jagung berjualan, ambillah waktu sejenak. Gigit sebatang jagung. Biarkan rasa manisnya membawa kita pada kesadaran sederhana: bahwa di dunia yang terus berubah, hal-hal kecil seperti sepotong jagung bisa mengingatkan kita pada apa yang paling manusiawi. Rasa syukur, kebersamaan, dan tanah yang memberi.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *