2 Juni: Hari Lahir Tan Malaka, Jejak Sunyi Sang Revolusioner yang Terlupakan

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” — Tan Malaka

Kutipan abadi ini bukan sekadar ungkapan, melainkan cermin dari hidup dan perjuangan Tan Malaka, sosok revolusioner yang lahir pada 2 Juni 1897 di Sumatera Barat. Setiap tahun, tanggal ini menjadi momen penting untuk mengenang pria yang meskipun namanya jarang terdengar dalam cerita resmi kemerdekaan, telah menjadi arsitek gagasan kemerdekaan Indonesia yang begitu mendalam dan nyaris tanpa pamrih.

Read More

Lahir dari Tanah Minangkabau, Menggema ke Dunia

Ibrahim Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Daerah yang kaya tradisi pendidikan dan semangat perlawanan. Berbekal kecerdasan dan beasiswa dari pemerintah kolonial, ia melanjutkan studi di Belanda, tempat ia mendalami ide-ide Karl Marx, Lenin, dan para pemikir revolusioner dunia. Dari sana, ia menggabungkan ideologi tersebut dengan realitas kolonial Indonesia dan membentuk visi kemerdekaan yang revolusioner.

Pejuang Tanpa Bendera, Buronan Internasional

Berbeda dengan tokoh nasional lain yang berjuang dalam struktur resmi, Tan Malaka memilih jalan yang penuh bahaya dan kesunyian. Ia hidup dalam pelarian, bersembunyi dengan berbagai nama samaran, diincar oleh Belanda, Inggris, dan Jepang. Meski terus diburu, ia tetap menulis dan mengajar, menyebarkan semangat kemerdekaan dari Belanda hingga Filipina, Thailand, bahkan Uni Soviet.

Karya besarnya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), menjadi warisan pemikiran revolusioner yang menantang rakyat Indonesia untuk berpikir kritis dan mandiri.

Kepulangan yang Pahit dan Akhir Tragis

Setelah Proklamasi 1945, Tan Malaka kembali ke Indonesia dengan harapan tinggi. Namun, pandangan politiknya yang radikal dan kritik tajam terhadap elite nasional membuatnya dianggap sosok yang “berbahaya.” Ia mendirikan Partai Murba, organisasi yang mengusung suara rakyat banyak tanpa tunduk pada kompromi elit.

Namun, perjuangannya berakhir tragis. Pada 21 Februari 1949, di Kediri, Tan Malaka dieksekusi secara rahasia oleh pasukan Divisi Siliwangi. Bukan oleh penjajah, melainkan oleh sesama anak bangsa. Ia dikuburkan tanpa nisan, tanpa penghormatan.

Pengakuan yang Terlambat

Baru pada tahun 1963, Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional, sebuah pengakuan yang datang setelah puluhan tahun perjuangan dan pengorbanannya dilupakan oleh sejarah resmi.

Lebih dari Nama Jalan: Warisan Ide dan Semangat

Kini, nama Tan Malaka menghiasi beberapa ruas jalan di Indonesia, namun mengenangnya harus lebih dari sekadar simbol fisik. 2 Juni menjadi waktu untuk menyelami gagasan-gagasan progresifnya, keberaniannya untuk berpikir beda, dan pengabdian tanpa pamrih yang ia berikan demi kemerdekaan dan keadilan sosial.

Sisi Humanis yang Jarang Diketahui

Di balik sosok revolusioner itu, Tan Malaka adalah guru bagi buruh dan anak-anak di negeri asing, yang mengajar secara sembunyi-sembunyi demi menyebarkan cara berpikir merdeka. Ia hidup tanpa rumah, tanpa keluarga, bahkan tanpa harta, seluruh hidupnya didedikasikan untuk rakyat dan republik yang ia cintai.

Refleksi Hari Ini

Hari Lahir Tan Malaka bukan hanya sekadar mengenang tanggal kelahiran seorang pahlawan, tetapi ajakan untuk mempertanyakan: Apakah kita masih punya ruang dan keberanian untuk idealisme? Untuk berpikir kritis? Untuk memperjuangkan keadilan walau tidak selalu mendapat tepuk tangan?

Jejak sunyi Tan Malaka terus hidup, mengingatkan bahwa idealisme adalah kemewahan sekaligus tanggung jawab bagi setiap generasi.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *