headlinejatim.com —Setiap tanggal 24 Mei, dunia memperingati Hari Skizofrenia Sedunia, sebuah momentum global untuk meningkatkan kesadaran terhadap skizofrenia. Salah satu gangguan mental berat yang masih dikelilingi stigma dan salah kaprah, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Di balik diamnya para penyintas skizofrenia, ada jeritan tak terdengar: permintaan untuk dimanusiakan, untuk diterima.
Sejarah Hari Skizofrenia dan Simbol Perjuangan Kemanusiaan
Tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Skizofrenia Sedunia untuk mengenang langkah revolusioner Dr. Philippe Pinel pada 24 Mei 1792 di Prancis. Ia memutuskan untuk melepaskan rantai yang membelenggu pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Bicêtre. Tindakan itu menjadi simbol awal perubahan cara dunia memperlakukan penyintas gangguan mental. Dari yang dipasung, diasingkan, hingga akhirnya dipulihkan secara manusiawi.
Wajah Skizofrenia di Indonesia: Fakta yang Tak Banyak Diketahui
Hingga tahun 2025, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam penanganan skizofrenia. Berdasarkan riset terbaru Cross River Therapy (2024), Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah penderita skizofrenia terbanyak di dunia, yakni mencapai 829.735 orang.
Data dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia naik signifikan dari 1,7 per 1.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 7 per 1.000 penduduk pada 2018, dan tren itu diperkirakan terus meningkat hingga 2025. Meski jumlahnya besar, sekitar 38,2% penderita belum pernah mendapatkan penanganan medis karena stigma, minimnya fasilitas, dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah.
Ironisnya, praktik pemasungan terhadap penyintas skizofrenia masih ditemukan di berbagai pelosok Indonesia. Keluarga atau masyarakat yang tidak memiliki akses pada layanan kesehatan mental terpaksa ‘mengamankan’ penderita, alih-alih merawat. Ini menjadi tamparan keras bagi dunia kesehatan dan kemanusiaan.
Minimnya Anggaran, Minimnya Perhatian
Salah satu akar persoalan adalah minimnya perhatian anggaran terhadap kesehatan jiwa. Hingga tahun 2025, alokasi dana kesehatan mental di Indonesia masih stagnan di kisaran 2% dari total anggaran kesehatan nasional. Dari jumlah tersebut, sekitar 66% justru habis untuk rumah sakit rujukan, bukan pada upaya pencegahan atau layanan berbasis komunitas.
Layanan psikososial yang murah, terjangkau, dan berbasis masyarakat sangat dibutuhkan. Sayangnya, masih langka. Pendekatan kuratif lebih dominan ketimbang preventif dan rehabilitatif. Padahal, skizofrenia bukan akhir, tetapi proses panjang yang bisa dikelola—jika mendapat dukungan lingkungan dan fasilitas yang layak.
Peringatan Hari Skizofrenia Sedunia bukan hanya seremoni, tapi ajakan untuk membuka mata dan merobohkan dinding stigma. Masih banyak yang mengira skizofrenia sama dengan “gila”, padahal skizofrenia adalah kondisi medis yang bisa ditangani dengan terapi psikologis dan pengobatan rutin.
Dalam semangat hari ini, simbol pita perak dikenakan sebagai bentuk solidaritas terhadap penyintas skizofrenia dan keluarganya. Ia bukan hanya simbol, tapi penanda bahwa masih ada harapan, asal kita tidak diam.
Kementerian Kesehatan perlu membuat terobosan kebijakan berbasis komunitas, memperkuat puskesmas dalam menangani masalah kejiwaan, serta mengintegrasikan layanan kesehatan mental dengan BPJS. Selain itu, edukasi publik harus masif agar masyarakat tidak lagi takut, curiga, atau menjauhi para penyintas.
Untuk masyarakat luas, memahami adalah bentuk cinta yang paling sederhana. Setiap kali Anda mendengar atau melihat seseorang dengan gejala skizofrenia, jangan langsung menghakimi. Mereka bukan musuh, bukan ancaman. Mereka hanya ingin didengar, dirangkul, dan ditemani.
Dari Stigma ke Empati
Skizofrenia bukan aib. Ia adalah bagian dari realitas kesehatan masyarakat yang harus dihadapi bersama, dengan ilmu, empati, dan kebijakan yang berpihak. Tanggal 24 Mei ini bukan hanya pengingat, tetapi penggugah nurani. Bahwa di luar sana, ada ratusan ribu jiwa yang menanti untuk dipahami, bukan dikucilkan.
Mari jadikan Hari Skizofrenia Sedunia sebagai awal perubahan. Kita semua punya peran: sebagai keluarga, teman, tetangga, atau sekadar sesama manusia.