“Ada hari-hari yang lewat begitu saja. Tapi ada pula hari yang mengubah arah sejarah. 21 Mei adalah hari semacam itu, bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk dunia.”
Jakarta, 21 Mei 1998. Setelah berminggu-minggu aksi unjuk rasa mahasiswa yang menjalar ke hampir seluruh Indonesia, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan pengunduran dirinya. Dunia menyaksikan salah satu momen paling dramatis dalam sejarah bangsa ini. Seorang penguasa yang memerintah selama lebih dari 32 tahun, akhirnya tumbang di hadapan suara rakyat.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,” ucap Soeharto, dengan suara berat, di Istana Merdeka pagi itu.
Pidato pendek itu adalah klimaks dari gelombang panjang protes yang diawali krisis moneter 1997, lalu berubah menjadi krisis politik. Tragedi Trisakti (12 Mei 1998), di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie, tewas ditembak aparat saat aksi damai, menjadi pemantik kemarahan publik.
Tokoh mahasiswa seperti Faisal Basri, Andi Arief, Sri Edi Swasono, dan berbagai aktivis kampus lainnya memainkan peran besar dalam memobilisasi massa. Kampus-kampus di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, hingga Makassar bersatu dalam satu teriakan: Reformasi!
Di balik layar, BJ Habibie, yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden, menjadi sosok kunci. Dialah yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia setelah Soeharto lengser. Masa transisi penuh ketegangan itu dikenal sebagai awal era reformasi, membuka jalan menuju pemilu demokratis, pembatasan kekuasaan presiden, otonomi daerah, dan kebebasan pers.
Namun, sejarah tidak hanya dibentuk oleh tokoh besar. Ia juga ditulis oleh ribuan mahasiswa tanpa nama, oleh ibu-ibu yang kehilangan anak, dan oleh warga biasa yang akhirnya percaya bahwa suara mereka berarti.
Namun 21 Mei tak hanya milik Indonesia.
Tanggal ini juga ditetapkan oleh PBB sebagai World Day for Cultural Diversity for Dialogue and Development. Tujuannya? Menyadarkan dunia bahwa keberagaman budaya bukanlah ancaman, melainkan potensi besar untuk pembangunan dan dialog lintas bangsa.
Menurut data UNESCO, sekitar 89 persen konflik di dunia berakar pada miskomunikasi antarbudaya. Karenanya, membangun ruang dialog antar kebudayaan menjadi penting untuk menghindari konflik dan membangun kerja sama global yang adil.
Hari ini mengajak kita merayakan perbedaan bahasa, etnis, dan keyakinan sebagai kekuatan, bukan kelemahan.
Tak berhenti di sana, 21 Mei juga diperingati sebagai World Meditation Day.
Di tengah dunia yang makin gaduh, hari ini menjadi pengingat bahwa kedamaian sejati lahir dari dalam diri. Dalam tradisi Timur, meditasi bukan sekadar praktik spiritual, tetapi bentuk revolusi diam yang membebaskan manusia dari kecemasan, tekanan sosial, dan pencarian yang tak pernah usai.
Studi dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa meditasi rutin dapat mengurangi tingkat stres hingga 31 persen, serta meningkatkan fokus dan stabilitas emosi secara signifikan. Maka, di era kelelahan digital, barangkali diam adalah bentuk keberanian baru.
21 Mei, satu hari, tiga makna.
Sebuah pengingat bahwa perubahan memerlukan keberanian, bahwa keberagaman butuh perawatan, dan bahwa kedamaian dimulai dari diri sendiri.
Hari ini, Indonesia berdiri di atas sejarah yang telah berdarah. Tapi justru dari luka itulah, lahir sebuah harapan.
Untuk generasi muda, ingatlah bahwa reformasi bukan warisan yang tinggal dinikmati. Ini adalah tugas yang harus dijaga.
Untuk warga dunia, mari rayakan perbedaan sebagai bagian dari kemanusiaan.
Dan untuk jiwa-jiwa yang lelah, hari ini ajaklah diri untuk diam sejenak. Karena kadang, hening adalah tempat terbaik untuk pulang.