Surabaya, headlinejatim.com – Pemerintah Kota Surabaya kembali menyuarakan komitmennya terhadap pengendalian rokok melalui penguatan sosialisasi dan pengawasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun di tengah klaim nihil pelanggaran, publik patut bertanya: seberapa efektif sebenarnya implementasi kebijakan ini di lapangan?
Dinas Kesehatan Kota Surabaya mengklaim telah melakukan pengawasan berkala di 48 titik lokasi, mulai dari fasilitas kesehatan, sarana pendidikan, hingga tempat ibadah. Hasilnya, disebutkan tidak ditemukan satu pun pelanggaran, baik oleh individu maupun lembaga. Namun di sisi lain, laporan warga mengenai masih bebasnya aktivitas merokok di beberapa ruang publik justru terus bermunculan di media sosial.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Nanik Sukristina, menyebut pengawasan ini mengacu pada Perda Nomor 2 Tahun 2019 dan Perwali Nomor 19 Tahun 2021. Ia menegaskan bahwa peninjauan ini dilakukan secara rutin setiap dua minggu, termasuk pembinaan terhadap Satuan Tugas KTR di masing-masing wilayah.
“Kami menjalankan pengawasan berdasarkan tiga kriteria pelanggaran—dari teguran lisan hingga denda administratif. Tapi selama pemantauan terakhir, kami tidak menemukan pelanggaran,” ujar Nanik.
Namun pernyataan ini mengundang pertanyaan serius: apakah nihil pelanggaran mencerminkan keberhasilan, atau justru mengindikasikan lemahnya deteksi dan pengawasan? Apalagi, perokok aktif di Surabaya—termasuk di kalangan remaja dan pelajar—masih tergolong tinggi.
Nanik mengakui bahwa keberadaan Kampung Bebas Asap Rokok (KABAR) yang sudah tersebar di 50 persen wilayah Surabaya cukup membantu meningkatkan kepatuhan. Tapi ia juga menegaskan bahwa pengawalan intensif tetap dibutuhkan untuk menjaga konsistensi. Fakta ini menunjukkan bahwa tantangan di lapangan masih sangat nyata.
Dinkes Surabaya juga melibatkan Puskesmas dalam upaya pengawasan harian, serta menggandeng komunitas dan swasta untuk kegiatan sosialisasi di berbagai acara publik. Namun hingga kini belum ada indikator publik yang menunjukkan efektivitas jangka panjang dari program ini, terutama dalam menurunkan angka perokok aktif dan paparan asap rokok di ruang terbuka.
Sanksi yang ditetapkan pun tergolong ringan: hanya Rp250.000 bagi pelanggar individu dan maksimal Rp50 juta bagi instansi. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan transparansi data pelanggaran, Perda dan Perwali ini berpotensi hanya menjadi formalitas kebijakan yang belum menyentuh akar masalah.