16 Mei, Dua Jalan Untuk Menerangi Dunia Dengan Laser dan Pelukan

headlinejatim.com —Pada tanggal 16 Mei, dunia berhenti sejenak. Bukan karena tragedi, bukan pula karena perayaan semarak dengan kembang api. Tetapi karena hari ini menyimpan dua peringatan internasional yang seolah lahir dari dua dunia berbeda, namun saling melengkapi satu sama lain “Hari Cahaya Internasional” dan “Hari Hidup Bersama dalam Damai”.

Keduanya adalah penanda zaman. Yang satu lahir dari denyut sains, dari laboratorium dan eksperimen yang menantang batas akal. Yang satu lagi tumbuh dari luka kemanusiaan, dari perang dan luka sosial yang belum sembuh hingga hari ini. Namun keduanya memancarkan cahaya. Bukan hanya cahaya dalam arti fisika, tapi cahaya dalam arti harapan, pencerahan, dan kehidupan yang lebih utuh.

Read More

Pada hari yang sama di tahun 1960, seorang ilmuwan bernama Theodore Maiman mencatat sejarah. Ia bukan tokoh populer dalam narasi umum penemuan, tapi ia membuat dunia tak lagi sama setelah menyalakan laser pertama dalam sejarah umat manusia. Di tengah keraguan banyak pihak, bahkan dari kalangan ilmuwan sendiri. Ia membuktikan bahwa cahaya bisa diarahkan, dikendalikan, dan dimanfaatkan dengan presisi luar biasa. Penemuannya membuka jalan bagi revolusi teknologi: dari pengobatan mata dengan laser, jaringan komunikasi serat optik, barcode scanner, hingga sistem navigasi dan pemetaan satelit. Semua bermula dari satu pancaran cahaya yang diciptakan dengan keyakinan bahwa sains mampu menerangi masa depan.

Itulah sebabnya pada tahun 2018, UNESCO menetapkan 16 Mei sebagai Hari Cahaya Internasional. Hari ini bukan sekadar untuk menghormati temuan Maiman, melainkan untuk merayakan betapa vitalnya peran cahaya dan teknologi berbasis cahaya dalam membentuk peradaban modern. Cahaya bukan hanya sumber kehidupan secara biologis, tapi juga simbol pengetahuan, keterbukaan, dan kemajuan. Dalam pidatonya, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, “Cahaya adalah simbol pengetahuan dan harapan. Tanpa cahaya, tidak ada kehidupan dan tidak ada kemajuan.”

Namun hari yang sama juga mengajarkan bahwa kemajuan tanpa kemanusiaan adalah jalan yang pincang. Dunia yang terang oleh teknologi tidak akan utuh tanpa terang hati dan keberanian untuk hidup bersama dalam perbedaan. Itulah alasan mengapa pada tahun 2017, Majelis Umum PBB menetapkan 16 Mei sebagai Hari Hidup Bersama dalam Damai. Hari ini adalah tanggapan atas realitas global: meningkatnya konflik, diskriminasi, ekstremisme, dan retaknya jembatan antarbudaya.

Peringatan ini tak lepas dari dorongan kuat tokoh spiritual Muslim asal Aljazair, Khaled Bentounès. Sebagai pemimpin tarekat Sufi, ia telah mengabdikan hidupnya untuk membangun jembatan antaragama dan antarbangsa. Ia percaya bahwa perdamaian sejati hanya bisa lahir dari pengakuan atas keberagaman sebagai anugerah, bukan ancaman. Bahwa kita bisa berbeda, namun tetap bisa hidup dalam kasih, menghargai tanpa harus menyeragamkan. Dalam satu forum UNESCO, ia berkata, “Jika cahaya adalah pengetahuan, maka perdamaian adalah kebijaksanaan.”

Bentounès bukan sekadar tokoh spiritual. Ia adalah pejalan yang menapaki jalan damai melalui dialog, pendidikan, dan gerakan akar rumput. Ia mendorong dunia untuk tidak hanya berpikir tentang perdamaian sebagai ide politik, tapi sebagai praktek harian: menerima tetangga yang berbeda, mendengarkan suara yang tak sepaham, membuka ruang untuk mereka yang termarjinalkan. Karena menurutnya, perdamaian tidak hadir dari atas, tapi tumbuh dari dalam hati yang bersedia memahami.

Begitulah, 16 Mei menjelma sebagai pengingat: bahwa dunia butuh dua nyala sekaligus. Satu dari akal yang terus mencari, satu dari hati yang terus merangkul. Tanpa keduanya, kita akan hidup dalam terang yang kosong, atau dalam cinta yang tak berdaya.

Dunia saat ini berada di persimpangan. Di satu sisi, kita menyaksikan kemajuan teknologi yang luar biasa. Di sisi lain, kita hidup dalam zaman dengan ketegangan sosial dan identitas yang menguat. 16 Mei hadir tidak untuk memilih satu di antara dua, tetapi untuk menyatukannya. Bahwa cahaya yang kita temukan di laboratorium harus mampu menerangi ruang-ruang gelap dalam masyarakat kita. Dan bahwa semangat hidup bersama dalam damai harus memiliki pijakan yang kokoh dalam pengetahuan dan kebijaksanaan.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan sebagai manusia?

Kita bisa menyalakan cahaya di kelas dengan mengajarkan sains yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Kita bisa menyalakan cahaya di rumah dengan membesarkan anak-anak yang menghargai keberagaman. Kita bisa menyalakan cahaya di media sosial dengan menyebarkan pesan damai, bukan provokasi. Kita bisa menyalakan cahaya di hati sendiri, dengan membuka ruang bagi pengertian, bukan prasangka.

Sebab cahaya sejati bukan hanya milik ilmuwan di laboratorium, atau pemimpin spiritual di forum dunia. Ia milik siapa pun yang percaya bahwa ilmu dan cinta, sains dan damai, akal dan hati, bisa berjalan bersama.

Dan pada tanggal 16 Mei, kita diingatkan untuk menyalakan keduanya. Dalam dunia yang terus berubah, barangkali inilah satu-satunya terang yang tak pernah padam.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *