Refleksi di Hari Hutan Indonesia
headlinejatim.com —Tanggal 14 Mei mungkin tak tercantum dalam kalender nasional sebagai hari besar. Ia sunyi, tanpa seremoni negara, tanpa pidato panjang pejabat, bahkan nyaris tak dikenali publik. Namun di akar rumput, di antara barisan pohon yang masih tersisa, tanggal ini tumbuh sebagai simbol perlawanan dan pengharapan “Hari Hutan Indonesia”.
Bukan hari resmi, tapi lahir dari keresahan kolektif atas luka yang terus menganga di tubuh negeri ini: hancurnya hutan-hutan kita.
Kenapa 14 Mei?
Tak ada keputusan presiden yang menetapkannya, tak ada lembaga resmi yang merayakannya. Tapi sejak awal 2010-an, komunitas pecinta lingkungan, LSM, dan aktivis kehutanan mulai menyuarakan 14 Mei sebagai momen reflektif dan perlawanan terhadap laju deforestasi. Tanggal ini dipilih karena menandai tonggak kesadaran masyarakat sipil dalam memperjuangkan hutan Indonesia, terutama pasca banyak kasus alih fungsi hutan dan konflik agraria yang mencuat ke publik di pertengahan Mei.
Sejak itu, setiap 14 Mei dijadikan ruang sunyi untuk bicara lantang: tentang kehilangan, ketimpangan, dan harapan yang tumbuh dari akar.
Hutan Indonesia: Rumah, Nafas, dan Penjaga Kehidupan
Indonesia adalah paru-paru dunia. Kita pernah membanggakan diri sebagai negara dengan hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia—setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo.
Namun kebanggaan itu perlahan jadi ironi. Sejak tahun 2000, Indonesia telah kehilangan lebih dari 24 juta hektare hutan. Setara dengan luas gabungan provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Data Global Forest Watch mencatat, pada 2022 saja, Indonesia kehilangan sekitar 1,45 juta hektare tutupan pohon, meski angka ini turun dibanding dekade sebelumnya.
Kalimantan, Sumatera, Papua, dan Sulawesi terus kehilangan hijaunya karena:
- Perluasan perkebunan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri),
- Pertambangan terbuka,
- Proyek infrastruktur,
- dan kebakaran hutan yang kerap disengaja.
Tak hanya pohon yang tumbang “hidup masyarakat adat, satwa langka, hingga keseimbangan iklim turut porak-poranda”.
Di Balik Hutan yang Hilang, Ada Tangis yang Tertahan
Bagi masyarakat adat di Mentawai, Dayak, Papua, hutan bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah roh kehidupan, tempat belajar, tempat ibadah, dan tempat kelahiran serta kematian. Ketika hutan digunduli, yang hilang bukan hanya pepohonan, tetapi juga identitas dan sejarah.
Hutan yang rusak mempercepat krisis iklim. Banjir bandang, kekeringan ekstrem, tanah longsor, dan berkurangnya kualitas udara adalah gejala dari sistem yang dipaksa runtuh.
Harapan yang Tumbuh dari Akar
Namun tak semua cerita tentang hutan adalah cerita kehilangan. Dari pelosok negeri, ribuan orang masih berjuang untuk menjaga nafas hijau bumi:
Di Jambi, komunitas adat Suku Anak Dalam mempertahankan hutan adat mereka dari perusahaan sawit.
Di Kalimantan, ribuan pohon ditanam kembali oleh warga dalam program agroforestri berbasis rakyat.
Di Papua Barat, gerakan pemetaan hutan adat tumbuh masif untuk mencegah klaim sepihak oleh korporasi.
Dan tiap 14 Mei, kampanye seperti #HariHutanIndonesia, #HutanAdalahKita, dan #BicaraHutan digaungkan di media sosial. Hutan kini tak lagi bicara diam. Ia bersuara melalui kita—manusia yang memilih merawat daripada menghabisi.
Refleksi di Hari Ini
Hari ini, mari sejenak berhenti.
Lihat ke sekeliling: udara yang kita hirup, air yang kita minum, tanah tempat kita berpijak, semuanya hidup karena hutan. Tapi hutan kini tak lagi utuh. Ia berdarah, ia dibakar, ia dijual diam-diam oleh tangan-tangan yang mengaku pembangunan.
Mari rawat dan lawan. Bukan esok. Tapi sekarang.
Karena ketika hutan terakhir ditebang, air terakhir tercemar, dan udara terakhir tercemar, barulah kita sadar: uang tak bisa dimakan.