13 Mei: Jejak Luka dan Doa di Tanah Air

 

headlinejatim.comDalam kalender, tanggal 13 Mei mungkin tampak biasa. Namun bagi Indonesia, hari ini adalah mosaik kenangan kelam dan pengingat akan ketahanan jiwa bangsa. Tanggal ini menyimpan luka yang belum sepenuhnya sembuh, namun juga menjadi napas doa dan harapan bagi masa depan yang lebih damai. Tiga peristiwa besar dalam rentang sejarah negeri ini berpaut erat pada tanggal itu—mengukirnya sebagai pengingat abadi akan nilai kemanusiaan, persatuan, dan harapan.

Read More

 

Kerusuhan Mei 1998: Amarah yang Meledak

Tanggal 13 Mei 1998, Jakarta terbakar. Gedung-gedung dilalap api, toko-toko dijarah, dan masyarakat hidup dalam ketakutan. Ini adalah puncak dari krisis ekonomi yang telah menggerogoti Indonesia sejak 1997. Rakyat, yang kehilangan pekerjaan, tabungan, dan harapan, meledak dalam amarah. Namun yang paling tragis, kemarahan itu berubah menjadi kebencian buta. Etnis Tionghoa menjadi korban pelampiasan.

Di tengah kobaran api dan suara pecahan kaca, suara jeritan terdengar dari pusat-pusat perbelanjaan yang dibakar, di mana sejumlah perempuan diperkosa dan warga sipil terbunuh. Menurut Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), lebih dari 1.000 orang tewas, kebanyakan karena terbakar hidup-hidup.

Tokoh-tokoh seperti BJ Habibie, Amien Rais, dan Megawati Soekarnoputri kala itu berdiri di tengah gelombang perubahan. Tapi juga ada nama-nama seperti Petrus Bima Anugrah dan Yohanes Ferry Sudrajat, mahasiswa Trisakti yang gugur pada 12 Mei—yang kematiannya menjadi pemicu langsung kerusuhan keesokan harinya.

Kerusuhan ini menjadi pintu gerbang tumbangnya rezim Orde Baru. Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun memimpin.

 

Bom Surabaya 2018: Luka di Rumah Ibadah

Lima belas tahun setelah itu, pada 13 Mei 2018, Surabaya terguncang. Tiga gereja diserang oleh bom bunuh diri di pagi hari:

  • Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela,
  • Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro,
  • dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS).

Yang mencengangkan: pelaku pengeboman adalah satu keluarga. Dita Oepriarto, sang ayah, membawa kedua anak laki-lakinya menabrakkan mobil berisi bom ke GPPS. Istri dan dua anak perempuan Dita melakukan bom bunuh diri di GKI Diponegoro. Serangan ini menewaskan 28 orang, termasuk para pelaku, dan melukai 57 orang lainnya.

Serangan ini menunjukkan wajah baru terorisme di Indonesia: kekerasan yang dibungkus dalam klaim iman, tapi merenggut nyawa orang tak bersalah. Warga Surabaya, dalam keterkejutan dan duka, justru menunjukkan solidaritas lintas agama. Ucapan damai, pelukan, dan aksi bersama menolak radikalisme muncul dari segala penjuru kota.

 

Hening dan Harapan

Kini, dua dekade lebih telah berlalu. Pada 13 Mei 2025, Indonesia tak lagi diwarnai api atau dentuman. Hari itu menjadi cuti bersama Waisak, hari besar umat Buddha. Di Borobudur, lilin-lilin dinyalakan, doa-doa dilepaskan ke langit malam dalam lentera. Heningnya hari ini seolah menutup luka-luka masa lalu dengan seutas harapan: bahwa kedamaian bisa hadir, jika bangsa ini bersatu menjaga harmoni.

Waisak selalu menjadi refleksi—tentang penderitaan, pencerahan, dan pembebasan. Dan mungkin, itulah yang kita perlukan saat mengenang 13 Mei: bukan hanya mengingat derita, tapi belajar darinya agar tidak kembali mengulang.

 

Menolak Lupa, Merawat Ingatan

Tiga kisah. Tiga luka. Tiga pelajaran.

Tanggal 13 Mei adalah simpul sejarah yang tak boleh lepas dari ingatan bangsa. Bukan untuk membuka luka, tapi agar luka itu tak kembali terulang.

Kita mengenang bukan karena dendam. Kita mengingat agar tetap waspada. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang tak pernah terluka, melainkan bangsa yang tak pernah melupakan lukanya dan berani menyembuhkannya bersama.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *