headlinejatim.com— Ada sesuatu yang istimewa dari tanggal 12 Mei. Bukan sekadar angka di kalender, melainkan momentum untuk mengingat dua hal yang sangat manusiawi: dedikasi tanpa pamrih dan harapan yang rapuh tapi terus diperjuangkan.
Dari Sebuah Kamar Gelap di Scutari
Kisah ini dimulai lebih dari dua abad lalu, ketika seorang perempuan muda Inggris berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit militer di Scutari, Turki. Ia membawa lentera kecil, menyentuh dahi para prajurit yang terluka, memastikan luka mereka dibersihkan, dan tubuh mereka tidak mati karena kotoran.
Namanya Florence Nightingale. Lahir pada 12 Mei 1820, ia bukan hanya seorang perawat. Ia adalah cahaya harapan di tengah kengerian Perang Krimea.
Florence datang dari keluarga bangsawan. Hidupnya bisa nyaman, tapi ia memilih jalan sepi: merawat orang-orang yang bahkan sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Ia mencatat, menganalisis, mengubah cara rumah sakit bekerja, dan memulai sesuatu yang kelak disebut revolusi keperawatan modern.
Atas dedikasinya, dunia kemudian menjadikan 12 Mei sebagai Hari Perawat Internasional. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, tapi pengakuan global akan jutaan perawat di seluruh dunia yang, seperti Florence, bekerja siang dan malam, sering tanpa tepuk tangan.
Tema 2025: “Nurses for Peace, Health and Humanity”
Untuk tahun 2025, International Council of Nurses (ICN) mengangkat tema:
“Nurses for Peace, Health and Humanity”
Tema ini menekankan pentingnya peran perawat sebagai garda depan tidak hanya dalam layanan kesehatan, tetapi juga dalam menjaga martabat, kedamaian, dan nilai-nilai kemanusiaan di tengah krisis global, konflik, dan ketidaksetaraan.
Ketika Anak Muda Tak Lagi Tersenyum
Di Indonesia, tanggal yang sama mulai dihidupkan oleh suara-suara yang tak kalah penting: para remaja dan pegiat kesehatan mental. Meski belum diresmikan negara, 12 Mei juga diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Remaja Nasional (non-resmi) oleh sejumlah komunitas.
Mengapa remaja? Karena di balik senyum dan unggahan media sosial, banyak dari mereka menyimpan kegelisahan yang tak terlihat. Data menunjukkan bahwa 6 dari 100 remaja Indonesia mengalami gangguan emosional. Angka ini hanyalah permukaan dari gunung es yang dalam dan rumit.
Bagi mereka yang bergulat dengan kecemasan, tekanan akademik, kekerasan dalam rumah tangga, hingga pencarian jati diri yang membingungkan. Kehadiran ruang aman untuk bicara menjadi sangat penting.
Di sinilah komunitas-komunitas seperti Into The Light, Pulih, dan Sehat Jiwa Indonesia hadir. Mereka menyuarakan pentingnya akses kesehatan jiwa, layanan konseling di sekolah, dan yang paling penting: menghapus stigma bahwa merasa tidak baik-baik saja adalah sebuah kelemahan.
Tema 2025: “Suara Remaja, Jiwa Sehat untuk Masa Depan”
Tema yang diusung komunitas untuk Hari Kesehatan Jiwa Remaja Nasional 2025 adalah:
“Suara Remaja, Jiwa Sehat untuk Masa Depan”
Tema ini menekankan pentingnya mendengar perspektif dan pengalaman remaja secara langsung dalam merancang kebijakan dan layanan kesehatan jiwa yang inklusif dan empatik.
Benang Merah: Kepedulian Tanpa Batas
Apa benang merah dari Florence Nightingale dan seorang remaja yang sedang berjuang melawan depresi? Keduanya mengingatkan kita tentang betapa rapuhnya manusia, dan betapa pentingnya hadir untuk satu sama lain.
Florence membawa cahaya ke medan perang. Para perawat hari ini meneruskan semangatnya di ruang-ruang UGD, Puskesmas, klinik pedesaan, bahkan saat pandemi menerjang.
Sementara para remaja yang bersuara tentang kesehatan jiwa adalah pemberani baru zaman ini, yang memilih bicara ketika banyak memilih diam.
Di tengah dunia yang sibuk, tanggal 12 Mei datang seperti ketukan halus: Sudahkah kita peduli?
Peduli pada mereka yang menjaga nyawa, dan pada mereka yang diam-diam berusaha bertahan hidup.