Refleksi Hari Asma Sedunia 7 Mei 2025
“Make Inhaled Treatments Accessible for ALL”
headlinejatim.com —Di sebuah negeri tropis yang kaya akan janji-janji dan miskin udara bersih, hiduplah seorang guru bernama Budi. Ia bukan menteri, bukan pejabat, bukan pula komisaris. Ia hanya seorang pengajar sekolah dasar yang setiap hari menggantungkan hidup pada dua hal: semangat dan inhaler.
Sayangnya, yang satu bisa ia dapat dari murid-muridnya, tapi yang satu lagi harus ia cari di apotek, yang seringkali kosong, atau harganya tak manusiawi. Dan yang lebih ironis, harga sebotol inhaler itu bahkan bisa lebih mahal dari ongkos seminar kesehatan yang rutin digelar oleh para pemangku kebijakan negeri.
Asma dan Negara yang Tak Sempat Bernapas
Di negeri ini, asma masih dianggap “penyakit kecil”. Tidak seperti jantung yang sering jadi proyek, atau diabetes yang bisa menyedot dana riset. Asma tak punya panggung. Ia hanya hidup di dada-dada yang mendesah di malam hari, di anak-anak yang tak kuat lari saat upacara bendera, atau di para pekerja pabrik yang menganggap sesak napas sebagai “biaya hidup”.
Data Riskesdas bilang, 4,5% rakyat negeri ini hidup dengan asma. Itu 12 juta jiwa atau setara dengan total penduduk Jakarta dan Surabaya jika digabung. Tapi entah mengapa, statistik ini hanya jadi catatan kaki di RPJMN dan PowerPoint kementerian yang lebih sering membahas startup kesehatan ketimbang alat bantu napas.
Budi, dan Negara yang Selalu Terlambat
Budi mengenal inhaler preventif dari seorang dokter muda di puskesmas. Itu pun bukan karena kampanye nasional, melainkan karena dokter itu iseng bikin edukasi mini di ruang tunggu. Setelah rutin pakai, hidup Budi berubah: ia bisa mengajar tanpa takut tumbang, bisa jalan-jalan tanpa khawatir kehilangan napas.
Tapi ia juga tahu, di desa tempat ia lahir, teman-temannya masih hidup dalam ketidaktahuan. Di sana, asma disembuhkan pakai air putih, doa, dan kadang… pasrah.
Tema 2025: Akses Inhaler untuk Semua?
Tahun ini, GINA menetapkan tema: “Make Inhaled Treatments Accessible for ALL”. Dunia sedang bicara soal kesetaraan akses pengobatan. Tapi di negeri ini, inhaler belum masuk daftar barang strategis. Lebih mudah mencari rokok eceran ketimbang inhaler generik.
Mungkin karena napas tak menghasilkan devisa.
Kepada Para Pengambil Keputusan: Pernahkah Anda Sesak Napas?
Kami ingin bertanya, bukan dengan marah, hanya dengan harap:
Pernahkah Anda mendengar anak Anda menangis tengah malam karena dadanya terasa sesak?
Pernahkah Anda harus memilih: beli inhaler atau isi bensin untuk bekerja esok hari?
Pernahkah Anda berpikir bahwa nyawa rakyat kecil tak seharusnya semahal paten obat?
Jika belum, barangkali inilah saatnya Anda turun dari podium dan duduk di ruang tunggu puskesmas. Di sana, rakyat Anda sedang belajar cara hidup dengan paru-paru yang tak pernah benar-benar diberi ruang.
Napas Itu Hak, Bukan Layanan Premium
Hari Asma Sedunia bukan soal peringatan di kalender dinas. Ia adalah alarm, bahwa hingga hari ini, napas belum menjadi bagian dari kebijakan publik.
Budi dan jutaan penderita asma tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin napas mereka dianggap penting. Sama pentingnya dengan proyek infrastruktur, agenda politik, atau tender pengadaan barang yang entah apa gunanya.
Karena di negeri yang katanya kaya raya ini, jangan sampai satu-satunya yang gratis hanyalah udara kotor.






