headlinejatim.com —Tiap tahun, pada tanggal 2 April, dunia berhenti sejenak untuk merayakan dua peringatan penting yang menyentuh jiwa, mengajak kita untuk lebih peka terhadap anak-anak yang sering terabaikan: Hari Peduli Autisme Sedunia dan Hari Buku Anak Internasional. Meski keduanya tampak berbeda, keduanya saling bersinergi untuk membangun pemahaman dan penerimaan. Hari itu, dunia mengingatkan kita bahwa setiap anak, dengan segala perbedaan yang mereka bawa, layak untuk dihargai, didengar, dan diberi ruang untuk berkembang.
Autisme: Sebuah Dunia yang Penuh Warna
Peringatan Hari Peduli Autisme Sedunia pada 2 April pertama kali digagas oleh PBB pada tahun 2007. Tujuan utamanya sangat jelas: mengajak dunia untuk lebih mengenal, memahami, dan merangkul individu dengan autisme. Dalam catatan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diperkirakan 1 dari 54 anak di seluruh dunia hidup dengan autisme—sebuah spektrum luas yang mempengaruhi cara anak berinteraksi, berkomunikasi, dan merasakan dunia di sekitarnya.
Namun, sering kali, kita melihat autisme hanya sebagai “kekurangan.” Padahal, lebih dari itu, autisme adalah cara berbeda dalam merasakan dan berinteraksi dengan dunia. Seperti lukisan yang penuh warna, mereka mungkin berbeda, tapi dunia mereka sama berharganya. Hari Peduli Autisme Sedunia mengingatkan kita bahwa penerimaan dan pemahaman adalah kunci untuk menciptakan ruang yang inklusif dan memberi mereka kesempatan untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka.
Buku: Kunci yang Membuka Dunia Anak
Pada hari yang sama, dunia juga merayakan Hari Buku Anak Internasional, yang sejak 1967 diinisiasi oleh International Board on Books for Young People (IBBY). Hari ini bukan hanya tentang buku—ini adalah tentang membuka pintu dunia bagi anak-anak, tentang bagaimana cerita-cerita kecil bisa membuka cakrawala besar dalam pikiran mereka. Buku memiliki kekuatan untuk membimbing mereka, mengajarkan nilai-nilai, dan memberikan suara kepada mereka yang belum bisa berbicara dengan kata-kata.
Namun, bagi anak-anak autistik, buku bukan sekadar alat pembelajaran atau hiburan—buku adalah teman sejati. Buku memberikan mereka bahasa yang mereka butuhkan untuk mengungkapkan perasaan, untuk memahami dunia yang kadang terasa asing. Dengan setiap halaman yang dibuka, mereka diajak masuk ke dalam dunia yang penuh warna, penuh dengan karakter yang mengenalkan mereka pada emosi, interaksi, dan pengertian tentang perasaan.
Kisah Ratna dan Damar: Menemukan Bahasa Lewat Buku
Salah satu kisah yang menyentuh datang dari Surabaya, di mana seorang ibu bernama Ratna merasakan sendiri perubahan yang dibawa oleh buku dalam kehidupan anaknya, Damar. Damar, yang terdiagnosis autisme sejak usia tiga tahun, tak banyak berbicara. Tetapi, setiap kali Ratna membacakan buku bergambar dengan karakter-karakter lucu dan warna-warna cerah, Damar akan duduk diam, matanya berbinar, dan senyum tipis mengembang di wajahnya.
“Buku ini mengajarkan Damar lebih dari sekadar kata-kata,” kata Ratna, dengan penuh perasaan. “Meskipun dia tidak bisa mengungkapkan banyak hal, saya tahu bahwa dia memahami. Buku memberikan jalan untuk dia berbicara—dengan cara yang dia bisa.”
Kisah ini adalah cerminan dari kenyataan yang dialami oleh banyak orangtua yang memiliki anak autistik. Buku tidak hanya mengajarkan mereka kata-kata, tetapi mengajarkan mereka cara melihat dunia. Dunia yang kadang terasa penuh dengan ketidakpastian menjadi lebih mudah dipahami melalui cerita yang ada di dalam buku. Melalui karakter dan cerita yang sederhana, mereka menemukan sebuah cara untuk mengenal emosi, belajar berinteraksi, dan memahami perasaan mereka sendiri.
Buku Sebagai Jembatan Sosial: Menumbuhkan Pemahaman dan Kepercayaan Diri
Buku, bagi anak-anak autistik, bisa lebih dari sekadar alat untuk membaca. Buku bergambar dengan narasi yang jelas dan sederhana adalah salah satu alat terapi yang paling efektif. National Autism Association mencatat bahwa buku-buku ini membantu anak-anak untuk belajar tentang rutinitas, mengenali perasaan, dan memahami dinamika sosial—hal-hal yang sering kali membingungkan bagi mereka.
Setiap halaman yang dibuka membawa anak lebih dekat pada pemahaman tentang diri mereka dan orang lain di sekitarnya. Buku menggambarkan dunia sosial yang mereka hadapi dengan cara yang lebih mudah dipahami dan diterima. Bahkan, buku bisa mengurangi kecemasan yang sering dirasakan anak-anak autistik, dengan memberikan mereka gambaran yang jelas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya dalam cerita, sama seperti dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Menghadapi Tantangan: Harapan yang Masih Menanti
Meskipun manfaat buku sebagai alat bantu berkembangnya anak-anak autistik semakin jelas, tantangan tetap ada. PBB menyebutkan bahwa sekitar 80% anak-anak autistik di negara berkembang masih kekurangan akses terhadap layanan pendidikan yang inklusif. Selain itu, buku yang dirancang khusus untuk membantu anak-anak autistik masih sangat terbatas. Kesadaran publik tentang pentingnya pendekatan yang inklusif juga masih perlu ditingkatkan.
Namun, 2 April adalah panggilan bagi kita semua untuk melakukan perubahan. Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menciptakan dunia yang lebih terbuka, lebih memahami, dan lebih peduli terhadap perbedaan. Buku adalah salah satu kunci utama yang dapat membuka pintu pemahaman dan penerimaan, tidak hanya bagi anak-anak dengan autisme, tetapi bagi semua anak.
Dengan merayakan Hari Peduli Autisme dan Hari Buku Anak Internasional, kita diajak untuk lebih dari sekadar mengingat—kita diajak untuk bertindak, untuk memberi lebih banyak ruang bagi setiap anak agar mereka dapat tumbuh, berkembang, dan meraih potensi terbaik mereka. Karena di balik setiap kata yang tertulis di buku, ada dunia yang menunggu untuk ditemukan, dan setiap anak berhak untuk menjelajahinya.