Herbie, Jazz, dan Harmoni Dunia: Sebuah Cerita dari Nada ke Perdamaian

headlinejatim.com —Di sebuah sudut kota Chicago tahun 1950-an, seorang bocah laki-laki duduk terpaku di depan piano tua milik keluarganya. Usianya baru tujuh tahun, tapi jemarinya sudah menari-nari di atas tuts seperti air mengalir. Namanya Herbie Hancock, anak dari keluarga kelas menengah kulit hitam yang lebih sering mendengar suara radio ketimbang tawa di jalanan.

Herbie tumbuh dalam dunia yang belum ramah pada warna kulitnya. Tapi ketika ia bermain piano, dunia seakan jadi tempat yang netral. Nada-nada itulah yang membuatnya merasa bebas.

Read More

Ia mulai dari musik klasik. Tapi hidupnya berubah ketika bertemu dengan jazz, musik yang liar, tak beraturan, tapi jujur. Ia tak hanya bermain nada; ia berbicara lewat improvisasi, menumpahkan apa yang tak bisa diungkapkan kata-kata.

Dari Panggung Miles Davis ke Panggung Dunia

Di usia 23 tahun, Herbie direkrut langsung oleh Miles Davis, legenda jazz yang terkenal keras kepala dan visioner. Herbie menjadi pianis termuda dalam kuartet Miles Davis yang mengubah wajah jazz modern. Dari sana, kariernya melejit. Album demi album dilahirkan—dari Maiden Voyage, Chameleon, hingga Rockit yang mencampur jazz dengan elektronik dan hip-hop.

Tapi Herbie bukan hanya musisi. Ia adalah pemikir, pendidik, dan pencari makna.

Ia percaya musik bisa menyembuhkan. Ia percaya jazz—dengan seluruh keberagamannya, adalah simbol kemanusiaan itu sendiri: kompleks, penuh warna, dan selalu mencari harmoni di tengah perbedaan.

Jazz, UNESCO, dan Sebuah Gagasan Besar

Pada 2011, Herbie diangkat sebagai Duta UNESCO untuk Dialog Antarbudaya. Di tengah dunia yang mulai terpolarisasi oleh politik, agama, dan krisis identitas, ia datang membawa satu gagasan sederhana:

“Jika dunia mau mendengar satu sama lain sebagaimana musisi jazz mendengar dalam improvisasi, kita bisa hidup berdampingan.”

Dari ide itulah lahir Hari Jazz Internasional, yang kini diperingati setiap 30 April. Bukan sekadar festival musik, tapi perayaan global atas kebebasan berekspresi, keberagaman budaya, dan kekuatan dialog.

Jazz adalah Cermin Dunia

Jazz tidak punya garis lurus. Ia seperti hidup: penuh tikungan, penuh kejutan. Tapi dalam tiap improvisasi, selalu ada upaya untuk menyatu.

Musisi jazz harus belajar mendengar dulu, lalu merespons.

Mereka harus bisa menonjol, tapi tahu kapan mundur agar harmoni tetap utuh.

Bukankah begitu pula seharusnya manusia hidup?

Herbie membawa filosofi itu ke ruang-ruang pendidikan, ke studio-studio kecil di Afrika, ke sekolah musik di Asia, dan ke panggung besar di Eropa.

Jazz di Indonesia: Dari Gunung hingga Kota

Di Indonesia, jazz punya rumah yang hangat. Dari festival besar seperti Java Jazz di Jakarta, hingga jazz akustik yang mengalun di bawah kabut Bromo dalam Jazz Gunung. Anak-anak muda memadukan jazz dengan angklung, gamelan, hingga keroncong. Seperti jazz sendiri, mereka berani mencoba, berani berbeda.

Dan tiap 30 April, suara-suara itu menyatu dalam satu semangat: musik sebagai jembatan antar manusia.

Hari Ini, Dunia Masih Perlu Mendengar

Di tahun 2025, saat dunia dipenuhi berita konflik, ujaran kebencian, dan dinding-dinding tak kasat mata, mungkin kita perlu berhenti sejenak.

Mendengar.

Meresapi.

Lalu bermain kembali dalam irama yang lebih padu.

Karena seperti kata Herbie Hancock:

“Jazz teaches us that we all have something to say. And when we listen to each other, that’s when the real music begins.”

Selamat Hari Jazz Internasional.

Mari hidupkan kembali irama yang mempertemukan kita, bukan memisahkan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *