headlinejatim.com — Nama Raden Ajeng Kartini begitu lekat dengan semangat emansipasi perempuan. Di setiap bulan April, wajahnya menghiasi panggung-panggung sekolah, pidato resmi, hingga laman media sosial. Tapi di balik citra “ibu pendidikan perempuan“, tersimpan sisi lain Kartini yang lebih sunyi, lebih manusiawi, dan lebih kompleks dari sekadar pahlawan nasional.
Perempuan yang (Pernah) Hampir Patah
Kartini bukan hanya perempuan cerdas, tapi juga pemikir yang sangat progresif. Ia menulis surat-surat yang menyentuh isu kolonialisme, kesenjangan sosial, dan kebebasan berpikir—tema yang bahkan hingga kini masih relevan. Namun di sela-sela surat-suratnya, kita bisa menemukan nada keputusasaan yang dalam.
“Kami, gadis-gadis, hidup seperti burung dalam sangkar emas,” tulisnya dalam salah satu surat.
Kartini sempat berada dalam kondisi mental yang nyaris depresif. Sistem pingitan, adat ketat bangsawan Jawa, dan kekecewaan terhadap pembatalan beasiswa ke Belanda, membuatnya merasa terpenjara di tanah kelahirannya sendiri. Ia pernah begitu dekat dengan mimpi besar—menimba ilmu di negeri Barat—yang akhirnya pupus karena kekuasaan kolonial takut perempuan Jawa menjadi terlalu cerdas.
Cinta yang Tak Jadi, dan Perjodohan yang Diterima
Tak banyak yang tahu bahwa sebelum menikah dengan Bupati Rembang, Kartini menjalin hubungan emosional yang cukup dalam dengan seorang pria Belanda—sahabat pena yang lebih dari sekadar teman diskusi. Tapi cinta itu kandas oleh tembok adat dan politik. Ia akhirnya menikah bukan karena cinta, melainkan karena kompromi: sebuah strategi agar tetap bisa membuka ruang bagi pendidikan perempuan.
Ironisnya, Kartini hanya sempat hidup setahun setelah pernikahan itu. Ia wafat di usia 25 tahun, hanya empat hari setelah melahirkan anak semata wayangnya.
Soesalit Djojoadhiningrat: Warisan Satu-Satunya
Soesalit Djojoadhiningrat lahir sebagai satu-satunya anak dari RA Kartini. Meski ia tidak pernah mengenal ibunya secara langsung, jejak pemikiran Kartini menjadi fondasi bagi perjalanan hidupnya. Soesalit tumbuh di lingkungan bangsawan Jawa yang kental dengan nilai pendidikan dan nasionalisme.
Sebagai seorang pria yang dibesarkan tanpa figur ibu, Soesalit tidak mewarisi perjuangan Kartini secara harfiah sebagai aktivis perempuan. Namun ia menanamkan nilai-nilai kebangsaan, ketegasan moral, dan pengabdian—sebuah bentuk perjuangan yang membentang dalam ranah yang berbeda.
Kiprah Soesalit dalam Republik yang Baru Lahir
Di masa muda kemerdekaan, Soesalit menjelma menjadi sosok penting dalam pemerintahan Indonesia:
Ia menjadi perwira militer dan birokrat negara, pernah menjabat di Departemen Dalam Negeri.
Beberapa kali diangkat menjadi diplomat dan duta besar Indonesia ke berbagai negara, menjadi wajah Indonesia di panggung dunia.
Meski tidak segemuruh nama ibunya, Soesalit adalah representasi dari transisi: dari perjuangan wacana menuju perjuangan negara.
Penjaga Api Kartini
Lebih dari jabatan dan kiprah birokrasi, Soesalit mengambil satu peran penting: penjaga warisan Kartini. Dialah yang memastikan surat-surat ibunya tidak lenyap oleh waktu. Ia mendukung pendirian museum Kartini di Jepara dan Rembang, terlibat dalam penerbitan ulang karya-karya ibunya, dan aktif dalam advokasi agar RA Kartini diakui sebagai Pahlawan Nasional—yang akhirnya dikukuhkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1964.
Antara Mitologi dan Realita
Kartini sering dikisahkan sebagai sosok sempurna—lambang keteguhan dan perjuangan tanpa cela. Padahal, kisah nyatanya justru jauh lebih menyentuh. Ia bergulat dengan dilema, patah hati, kegagalan, dan luka dalam diam. Dan dari sisa hidupnya yang pendek, lahirlah satu nama yang menjadi perpanjangan jejaknya: Soesalit Djojoadhiningrat, sang anak tunggal yang diam-diam meneruskan perjuangan ibunya dalam bentuk lain.
Dalam ruang sunyi sejarah, Soesalit adalah bukti bahwa warisan tak selalu diteruskan lewat kata yang sama, tapi bisa tumbuh dalam bentuk lain—diam, namun berdampak. Sama seperti Kartini, yang tidak hanya dikenang karena ia melawan, tapi karena ia berani bermimpi, bahkan ketika tak ada ruang untuk berharap.