18 April: Warisan Sejarah Dunia dan Jejak Perjuangan Asia-Afrika dari Bandung ke Dunia

“Dari pelestarian warisan budaya global hingga tonggak diplomasi negara-negara berkembang, 18 April menyimpan makna sejarah yang kuat di panggung dunia dan Indonesia.”

Bandung, headlinejatim.com — Tanggal 18 April tidak sekadar lewat sebagai hari biasa dalam kalender. Di baliknya tersimpan dua peringatan bersejarah yang punya dampak luas bagi dunia: Hari Peringatan Situs dan Monumen Dunia (International Day for Monuments and Sites) dan peringatan pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung. Keduanya membawa pesan kuat tentang identitas, kemerdekaan, dan keberlanjutan peradaban.

Read More

Warisan Dunia: Menjaga Identitas Lewat Situs Budaya

Hari Peringatan Situs dan Monumen Dunia pertama kali dicanangkan oleh International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) pada tahun 1982, dan kemudian diresmikan oleh UNESCO. Tanggal ini ditetapkan untuk meningkatkan kesadaran global akan pentingnya pelestarian warisan budaya—mulai dari candi, masjid, gereja, benteng, hingga kawasan kota tua—yang menjadi saksi bisu perjalanan peradaban manusia.

Setiap tahun, tema peringatan ini berubah untuk menyoroti isu-isu aktual. Tahun ini, tema global menyoroti tantangan pelestarian situs warisan di tengah perubahan iklim dan urbanisasi cepat. Di Indonesia sendiri, situs-situs seperti Borobudur, Prambanan, dan Kota Tua Jakarta menjadi bagian penting dari narasi ini. Namun, tantangan tetap besar: vandalisme, pengalihan fungsi lahan, hingga minimnya kesadaran masyarakat terhadap nilai sejarah.

Konferensi Asia Afrika: Bandung dan Diplomasi Global

Di sisi lain sejarah, 18 April juga menandai pembukaan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung—sebuah momen penting dalam sejarah diplomasi dunia. Konferensi ini mempertemukan 29 negara dari dua benua yang sebagian besar baru merdeka dari kolonialisme. Inisiatif ini dipimpin oleh tokoh-tokoh besar seperti Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdel Nasser (Mesir), dan Zhou Enlai (Tiongkok).

Konferensi ini melahirkan semangat solidaritas dan kerjasama Selatan-Selatan yang dikenal dengan “Dasa Sila Bandung”—prinsip-prinsip damai, anti kolonialisme, dan kedaulatan nasional yang masih relevan hingga kini. Tidak berlebihan jika KAA dianggap sebagai akar dari lahirnya Gerakan Non-Blok di kemudian hari.

Refleksi: Warisan Fisik dan Diplomatik

Peringatan 18 April menjadi refleksi bahwa warisan tidak hanya berupa bangunan fisik, tapi juga nilai-nilai diplomasi, kemerdekaan, dan solidaritas antarbangsa. Baik melalui pelestarian situs bersejarah maupun peringatan momen diplomatik seperti KAA, kita diingatkan bahwa masa lalu bukan untuk dilupakan, melainkan dijaga dan dijadikan kompas bagi masa depan.

Penting bagi generasi muda untuk tidak sekadar mengenang tanggal ini secara seremonial, tapi memahami makna di baliknya. Karena dari batu bata situs bersejarah hingga podium Konferensi Asia Afrika, semua bicara tentang satu hal: identitas dan perjuangan umat manusia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *