headlinejatim.com – Selembar prangko bukan sekadar alat pembayaran pengiriman surat. Ia adalah prasasti kecil yang merekam perjalanan sebuah bangsa, jejak peradaban dalam potongan waktu yang terlipat rapi di antara tempelan kertas dan tinta. Dalam dunia yang bergerak serba cepat, di mana pesan melesat dalam hitungan detik, filateli hadir sebagai pengingat bahwa komunikasi bukan hanya tentang kecepatan, tetapi juga tentang makna, keterhubungan, dan kesinambungan sejarah.
Setiap tanggal 29 Maret, Indonesia memperingati Hari Filateli Nasional—sebuah penghormatan terhadap tradisi yang mungkin tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung kedalaman filosofis yang luar biasa. Filateli bukan sekadar mengoleksi prangko; ia adalah praktik merawat kenangan, membangun jembatan lintas generasi, dan menghidupkan kembali masa lalu melalui lembaran kecil yang penuh makna.
Filateli: Seni Mengabadikan Waktu
Dalam bahasa Yunani, philos berarti teman, dan ateleia berarti bebas bea. Secara harfiah, filateli dapat diartikan sebagai “membebaskan sahabat dari bea”, sebuah metafora indah tentang bagaimana komunikasi sejatinya adalah pembebasan—pembebasan dari sekat-sekat jarak, dari keterasingan, dari hilangnya jejak dalam arus zaman.
Prangko adalah penanda peradaban. Setiap cetakannya membawa fragmen sejarah, mencatat peristiwa-peristiwa yang telah membentuk dunia sebagaimana kita mengenalnya hari ini. Dari perang dan perdamaian, dari revolusi hingga pencapaian budaya, prangko adalah kanvas kecil yang menampilkan mosaik kehidupan manusia dalam segala kompleksitasnya.
Mengoleksi prangko bukan sekadar mengumpulkan benda, tetapi membaca kisah-kisah yang tertinggal. Setiap prangko adalah surat yang dikirim dari masa lalu, pesan diam yang menunggu untuk dibaca oleh mereka yang bersedia menyelami maknanya.
Jejak Eksistensi dalam Secarik Prangko
Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa “berada-di-dalam-dunia” (being-in-the-world). Keberadaan kita bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terjalin dalam sejarah, budaya, dan komunikasi dengan sesama. Prangko, dalam wujudnya yang kecil, adalah simbol dari keberadaan ini—ia ada karena manusia ingin menyampaikan sesuatu, menghubungkan satu entitas dengan entitas lainnya, melampaui sekat-sekat geografis dan temporal.
Dalam setiap prangko yang dikoleksi, tersimpan sisa-sisa jejak eksistensi: tinta yang mulai pudar, perangko yang sedikit kusut karena perjalanan panjangnya dari satu tangan ke tangan lain. Di dalamnya, ada tanda-tanda waktu yang terus bergerak, tetapi juga perlawanan terhadap kefanaan—sebuah upaya untuk terus diingat, untuk tidak lenyap begitu saja dalam pusaran zaman.
Seorang filatelis bukan hanya pengumpul, tetapi juga seorang kurator memori. Ia merawat jejak-jejak sejarah yang mungkin terlupakan, membingkai masa lalu dalam lembaran kecil, menyusunnya dalam sistem yang memiliki makna lebih besar daripada sekadar tumpukan prangko.
Filateli sebagai Bentuk Ziarah
Mengoleksi prangko bisa disamakan dengan ziarah: perjalanan mencari makna dalam benda-benda yang terlihat sederhana, tetapi memiliki kedalaman yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mau melihat lebih dalam. Seperti seorang peziarah yang menyusuri tempat-tempat suci, seorang filatelis menyusuri masa lalu melalui prangko—menelusuri jejak-jejak sejarah, mengenang peristiwa yang telah terjadi, dan merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Dalam era digital yang semakin menyingkirkan artefak fisik, prangko tetap hadir sebagai simbol perlawanan terhadap kefanaan. Ia mengajarkan kita bahwa di tengah kecepatan dan ketidakpastian, ada nilai dalam merawat, mengumpulkan, dan memahami sejarah.
Pada akhirnya, filateli bukan sekadar hobi, tetapi sebuah cara untuk memahami waktu, untuk menyentuh sejarah dengan jemari sendiri, dan untuk tetap terhubung dengan masa lalu yang membentuk kita.
Selamat Hari Filateli Nasional, 29 Maret.