headlinejatim.com – Dalam perjalanan panjang kehidupan manusia, ada hari-hari yang lebih dari sekadar angka di kalender. Mereka adalah simpul waktu yang mengikat kisah-kisah pilu dan perjuangan, mengajarkan kita untuk tidak lupa, untuk tetap peduli, dan untuk terus melangkah maju.
25 Maret adalah salah satu hari itu—hari yang membawa suara mereka yang hilang, mereka yang tertindas, mereka yang melawan, dan mereka yang tak sempat melihat dunia. Ini bukan sekadar peringatan, tetapi cermin yang memantulkan wajah sejarah, agar kita tak mengulangi kesalahan yang sama.
—
Ketika Penjaga Perdamaian Tak Kembali
Ada orang-orang yang memilih jalan hidup tak biasa. Mereka meninggalkan kenyamanan untuk menjejakkan kaki di tanah yang retak oleh perang, mengulurkan tangan di tengah reruntuhan, dan berbisik tentang harapan di tempat di mana kematian lebih sering berbicara.
Mereka adalah staf PBB—para penjaga perdamaian, jurnalis, dan pekerja kemanusiaan yang percaya bahwa dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik. Tapi dalam perjalanan mereka, ada yang tak pernah kembali.
Alec Collett adalah salah satunya. Seorang jurnalis yang membawa pena ke medan perang, tetapi tidak pernah pulang. Diculik di Lebanon pada tahun 1985, namanya menjadi simbol bagi ratusan staf PBB lain yang hilang, diculik, atau dibunuh.
Hari ini, dunia tak sekadar mengenang mereka. Hari ini adalah seruan agar tidak ada lagi nyawa yang melayang dalam tugas mulia. Bahwa mereka yang berdiri di garis depan kemanusiaan harus mendapat perlindungan yang layak. Sebab, perdamaian yang dibangun di atas nyawa tak seharusnya menjadi harga yang wajar.
—
Bayang-Bayang Perbudakan yang Masih Menghantui
Sejarah adalah jejak waktu, dan di beberapa bagiannya, jejak itu berlumuran darah dan air mata.
Selama lebih dari empat abad, manusia diperdagangkan seperti barang dagangan. Sekitar 15 juta jiwa diambil dari tanah kelahirannya, dimasukkan ke dalam kapal penuh sesak, dan dibawa ke negeri-negeri asing untuk bekerja tanpa nama, tanpa hak, tanpa masa depan.
Mereka yang selamat dari perjalanan itu tidak benar-benar selamat. Mereka kehilangan kebebasan, keluarga, dan identitas. Hidup mereka menjadi kisah kepedihan yang tak bisa dituliskan dengan kata-kata.
Hari ini, dunia mengingat mereka. Bukan untuk meratapi, tetapi untuk memastikan bahwa bayangan perbudakan tidak lagi menjangkau masa depan. Bahwa tidak ada lagi manusia yang dipaksa hidup sebagai properti orang lain, bahwa tidak ada lagi tangan yang terikat rantai selain oleh takdirnya sendiri.
—
Cahaya Lilin di Tengah Rezim yang Menindas
Ada masa di mana berbicara adalah dosa, dan berdiam diri adalah satu-satunya pilihan aman.
Tapi pada 25 Maret 1988, di Slovakia, ribuan orang memilih melawan. Mereka tidak membawa senjata, tidak meneriakkan kemarahan. Mereka hanya berdiri di alun-alun kota, memegang lilin di tangan mereka—cahaya kecil yang menantang kegelapan rezim Komunis.
Di balik kedamaian itu, ada keberanian. Di balik keheningan, ada perlawanan. Mereka memperjuangkan kebebasan beragama, menuntut hak untuk memilih keyakinan mereka sendiri. Dan pada akhirnya, lilin-lilin itu menjadi awal dari api yang membakar tembok tirani.
Hari ini, kita mengenang keberanian mereka. Sebab dalam sejarah, perubahan besar tidak selalu dimulai dengan letusan senjata—kadang ia lahir dari tangan-tangan yang hanya berani memegang cahaya kecil dalam gelap.
—
Untuk Mereka yang Tak Pernah Dilahirkan
Hidup adalah hak yang paling dasar. Tapi ada mereka yang tak pernah mendapatkannya.
Setiap tahun, jutaan janin kehilangan kesempatan untuk melihat dunia. Keputusan yang sulit, yang diambil karena berbagai alasan—kemiskinan, kesehatan, tekanan sosial.
Hari ini, dunia memperingati mereka. Bukan untuk menghakimi, bukan untuk menghukum. Tapi untuk mengingat bahwa setiap kehidupan, sekecil apa pun, adalah sesuatu yang berharga. Bahwa setiap detak jantung memiliki cerita yang belum sempat dituliskan.
Beberapa negara telah menetapkan hari ini sebagai Hari Anak yang Belum Lahir. Bukan untuk menuding, tapi untuk mengajak kita merenung—tentang pilihan, tentang hak, dan tentang tanggung jawab kita terhadap kehidupan.
—
Hari yang Mengajarkan Kita untuk Tidak Lupa
25 Maret bukan sekadar tanggal. Ia adalah monumen waktu, tempat di mana sejarah bersuara dan meminta untuk didengar.
Ia mengingatkan kita tentang mereka yang hilang demi perdamaian, tentang rantai yang pernah membelenggu manusia, tentang lilin yang menyala di tengah tirani, dan tentang kehidupan yang tak sempat dimulai.
Hari ini bukan hanya tentang mengenang, tapi juga bertanya pada diri sendiri: apa yang bisa kita lakukan agar sejarah tidak hanya menjadi kisah masa lalu, tetapi pelajaran bagi masa depan?