“Aku Ingin Pulang”, Jeritan Sunyi Anak Pekerja Migran Indonesia

Surabaya, headlinejatim.com — Pameran fotografi bertajuk Au Loim Fain menghadirkan potret kehidupan anak-anak pekerja migran Indonesia yang selama ini luput dari perhatian publik. Pameran karya fotografer dokumenter Romi Perbawa itu digelar di Galeri Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Kompleks Balai Pemuda, pada 18–22 Desember 2025.

Melalui sekitar 20 karya foto, Romi mengajak pengunjung menengok realitas anak-anak pekerja migran, baik yang ditinggalkan orang tuanya di daerah asal maupun yang lahir dan tumbuh di negara penempatan. Pameran ini juga dirangkai dengan peluncuran buku tentang perdagangan manusia oleh Universitas Airlangga (Unair), serta diskusi bersama Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Kementerian Ketenagakerjaan mengenai migrasi kerja yang legal dan aman.

Read More

“Harapannya, pameran ini bisa menumbuhkan kepedulian, terutama dari kalangan seniman dan masyarakat luas, terhadap persoalan pekerja migran, khususnya anak-anak mereka. Banyak masalah yang tidak muncul ke permukaan dan justru membutuhkan perhatian bersama,” ujar Romi saat ditemui di sela pameran, Kamis (18/12/2025).

Romi menuturkan, ketertarikannya pada isu anak pekerja migran bermula dari pertemuannya dengan anak-anak migran yang ia potret sejak 2012. Dari pengalaman itu, ia menyadari kompleksitas persoalan yang dihadapi anak-anak tersebut. Proyek ini kemudian berlanjut secara intensif pada periode 2015–2018 setelah sempat terhenti karena ia mengerjakan proyek lain tentang joki kuda anak di Sumbawa.

Dalam risetnya, Romi menemukan persoalan serius di wilayah Sabah, Malaysia. Banyak anak pekerja migran Indonesia lahir di negara tersebut tanpa status kewarganegaraan yang jelas. Mereka hanya memiliki akses pendidikan hingga tingkat sekolah menengah pertama melalui Community Learning Center (CLC). Kesempatan melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas sangat terbatas dan hanya tersedia di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu.

“Ketika orang tua mereka tertangkap dalam operasi imigrasi, anak-anak ini ikut ditahan, bahkan dideportasi. Setelah itu, mereka sering kembali lagi lewat jalur tidak resmi karena tidak punya masa depan yang jelas. Ini masalah yang sampai sekarang belum ada solusi tuntasnya,” kata Romi.

Sebagian karya dalam pameran dicetak di atas media akrilik hitam putih dengan efek buram. Foto-foto tersebut diambil Romi saat mendokumentasikan kehidupan anak-anak dan pekerja migran di Rumah Merah atau Pusat Tahanan Sementara di Sandakan. Teknik visual itu dipilih untuk menjaga etika jurnalistik sekaligus menghadirkan pengalaman ruang yang menyerupai kondisi penahanan.

“Mereka bukan kriminal. Banyak yang masih di bawah umur, bahkan ada yang melahirkan di dalam tahanan. Saya tidak ingin menampilkan wajah mereka, tapi ingin pengunjung merasakan suasana yang saya alami di sana,” ujarnya.

Judul Au Loim Fain, yang berarti “aku ingin pulang” dalam bahasa Nusa Tenggara Timur, diambil dari kata-kata terakhir Adelina Sau, pekerja migran Indonesia yang meninggal akibat penyiksaan di Malaysia. Ungkapan itu, menurut Romi, menjadi simbol kerinduan dan keterasingan yang dialami banyak pekerja migran dan anak-anak mereka.

Selain Indonesia dan Malaysia, proyek ini juga merekam kehidupan pekerja migran di Hongkong. Di sana, Romi menemukan fenomena pekerja migran tidak berdokumen yang hidup dalam keterbatasan dan tekanan ekonomi, hingga terpaksa melepaskan hubungan dengan keluarga di tanah air.

Bagi Romi, proyek jangka panjang ini bukan sekadar kerja fotografi, melainkan upaya membangun empati. Ia percaya, perubahan nasib bangsa harus dimulai dari pemenuhan hak pendidikan anak.
“Kalau makin banyak yang peduli, mungkin akan ada yang tergerak menjadi orang tua asuh atau mendukung pendidikan mereka. Anak-anak ini butuh kesempatan,” katanya.

Romi mengakui, proses pengerjaan proyek ini penuh tantangan, termasuk risiko keselamatan saat melakukan riset di wilayah perbatasan dan jalur ilegal. Meski demikian, ia menilai proses membangun kepercayaan dengan subjek foto menjadi bagian terpenting dari karyanya.

Melalui Au Loim Fain, Romi berharap pameran seni dapat menjadi medium refleksi sosial, sekaligus mendorong perhatian lebih serius terhadap perlindungan anak-anak pekerja migran Indonesia.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *