Inovasi Dosen Universitas Negeri Malang Kembangkan Sistem Otomasi Quality Control Berbasis Teknologi YOLO untuk Deteksi Cacat Bahan Garmen Secara Real-Time

Malang, headlinejatim.com- Dosen Program Studi Desain Mode, Fakultas Vokasi Universitas Negeri Malang (UM), Ajeng Atma Kusuma, kembali mencatat prestasi membanggakan melalui inovasi teknologi di bidang fesyen. Bersama timnya yang terdiri dari Jibril Maulana, Agus Sunandar, Nurul Hidayati, dan Rizka Sarah Heydarina Fathima Ahsan, Ajeng berhasil mengembangkan sistem Otomasi Quality Control berbasis Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi cacat pada bahan fusible interlining secara otomatis.

Read More

Inovasi ini menjadi langkah maju dalam menjawab tantangan industri fesyen nasional yang tengah beradaptasi dengan era digital dan tuntutan efisiensi. Selama ini, proses pemeriksaan bahan garmen masih dilakukan secara manual dan bergantung pada ketelitian tenaga kerja. Hal itu sering menimbulkan ketidakkonsistenan kualitas produk dan memperlambat rantai produksi. Sistem yang dikembangkan Ajeng dan timnya menghadirkan solusi untuk mengoptimalkan proses tersebut, sekaligus membantu pekerja agar dapat beralih ke fungsi yang lebih strategis serta kreatif dalam industri fesyen.

Dalam dunia produksi busana, fusible interlining merupakan bahan pelapis penting yang digunakan untuk memperkuat struktur pakaian, seperti pada kerah, manset, atau ban pinggang. Namun, bahan ini kerap mengalami cacat seperti bubbling, delaminasi, atau strike back yang sulit dideteksi oleh mata manusia. Melalui sistem berbasis deep learning YOLO versi 11, teknologi ini mampu mengenali berbagai jenis cacat dengan akurasi mencapai 96,25 persen. “Teknologi ini memungkinkan proses pemeriksaan kualitas dilakukan secara real-time, hanya dalam hitungan detik, tanpa inspeksi manual yang melelahkan. Dengan begitu, proses produksi menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan,” ujar Ajeng Atma Kusuma.

Penelitian ini menggunakan dataset berisi 400 citra bahan fusible interlining yang dilatih untuk mengenali empat jenis cacat utama: cut, hole, stain, dan thread error. Hasil pengujian menunjukkan sistem mampu mendeteksi cacat lubang dengan akurasi 100 persen, noda 96 persen, serta robekan dan kesalahan benang dengan akurasi 95 persen. Capaian ini menunjukkan bahwa sistem tersebut layak diimplementasikan pada industri fesyen untuk meningkatkan efisiensi waktu inspeksi sekaligus mengurangi limbah produksi sejak tahap awal.

Lebih dari sekadar inovasi teknologi, penelitian ini juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Ajeng menekankan bahwa sistem otomasi berbasis AI ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan tenaga kerja manusia, melainkan membantu mereka beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Pekerja dapat beralih ke peran yang lebih berorientasi pada kreativitas, desain, dan pengawasan sistem produksi. Hal ini membuka peluang peningkatan kualitas sumber daya manusia di industri fesyen sekaligus mengurangi beban kerja manual yang repetitif.

Selain itu, inovasi ini juga dapat diadaptasi oleh pelaku UMKM fesyen yang kerap terkendala pada keterbatasan tenaga ahli dan sumber daya untuk melakukan quality control secara efektif. Dengan penerapan sistem ini, UMKM dapat meningkatkan mutu produksi dan memperluas daya saing di pasar global tanpa harus bergantung pada teknologi impor yang mahal. “Kami ingin agar teknologi ini menjadi jembatan bagi industri kecil agar bisa tumbuh bersama dalam ekosistem industri 4.0 dan menuju fesyen berkelanjutan,” tutur Ajeng.

Dari sisi lingkungan, sistem otomasi ini berperan penting dalam mengurangi limbah bahan tekstil yang sering terbuang akibat cacat produksi yang terlambat terdeteksi. Dengan sistem pendeteksi dini, proses produksi menjadi lebih hemat bahan, energi, dan waktu. Dampaknya, industri fesyen dapat berkontribusi pada upaya pengurangan jejak karbon dan pencemaran lingkungan yang selama ini menjadi sorotan dunia.

Inovasi ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, SDG 9 tentang industri, inovasi, dan infrastruktur, serta SDG 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Ketiga poin ini mencerminkan keseimbangan antara kemajuan teknologi, kesejahteraan pekerja, dan kelestarian lingkungan.

Ajeng berharap hasil penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi perangkat cerdas (smart device) yang bisa diintegrasikan langsung ke mesin produksi. Dengan akurasi tinggi dan kecepatan deteksi luar biasa, teknologi ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memimpin transformasi menuju Smart Fashion Industry yang tidak hanya inovatif, tetapi juga manusiawi dan berkelanjutan.

Sebagai akademisi dan peneliti yang berfokus pada penerapan AI dalam industri fesyen, Ajeng Atma Kusuma menegaskan pentingnya sinergi antara teknologi, pendidikan vokasi, dan pemberdayaan sosial. “Teknologi seharusnya menjadi alat yang memberdayakan, bukan menggantikan. Dengan riset seperti ini, kami ingin membuktikan bahwa fesyen masa depan bisa cerdas, beretika, dan berpihak pada manusia,” pungkasnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *