Padel untuk Semua: Sebuah Olahraga yang lahir dari keterbatasan hingga mendunia

headlinejatim.com —Sebagai Wakil Ketua KONI Jawa Timur, saya sering ditanya soal tren olahraga baru yang mulai populer di Indonesia, salah satunya padel. Bagi sebagian orang, padel tampak seperti olahraga eksklusif, hanya bisa dimainkan oleh kalangan tertentu di lapangan-lapangan modern dengan biaya sewa yang relatif tinggi. Narasi itu tidak sepenuhnya salah, karena memang hari ini fasilitas padel di Indonesia masih terbatas, terkonsentrasi di kota besar, dan identik dengan gaya hidup urban. Tetapi kalau kita menengok ke sejarahnya, padel justru lahir dari hal yang sederhana, bahkan sangat down to earth. Olahraga ini berangkat dari keterbatasan, bukan dari kemewahan.

Padel pertama kali muncul pada tahun 1969 di Acapulco, Meksiko. Seorang pengusaha bernama Enrique Corcuera ingin membangun lapangan tenis di halaman rumahnya. Namun lahan yang tersedia terlalu sempit, terhimpit tembok dan dinding. Dari keterbatasan itu lahirlah inovasi: lapangan tenis versi mini, dengan dinding sebagai bagian dari permainan, dan raket yang lebih sederhana. Olahraga baru itu dinamai padel. Artinya, sejak awal padel lahir bukan dari resort mewah atau klub elit, tetapi dari kreativitas rakyat biasa yang berusaha mengakali ruang sempit untuk tetap bisa berolahraga.

Read More

Dari Meksiko, padel kemudian menyebar ke Spanyol melalui seorang bangsawan bernama Alfonso de Hohenlohe. Dari Spanyol, olahraga ini berkembang cepat ke Argentina, lalu merambah Eropa, Timur Tengah, hingga Asia. Dalam beberapa dekade terakhir, padel tumbuh pesat dan kini menjadi salah satu olahraga dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Namun, yang sering dilupakan adalah akar sejarahnya: padel bukanlah olahraga elit, ia lahir dari keterbatasan. Justru di situlah nilai yang seharusnya kita rawat.

Sebagai bagian dari KONI, saya melihat ada dua wajah padel hari ini. Di satu sisi, ia membawa energi baru: dinamis, mudah dimainkan, fun, dan cocok untuk dimainkan berpasangan. Padel cepat dipelajari, sehingga menarik bagi pemula maupun atlet lintas cabang. Banyak kalangan muda tertarik karena padel menghadirkan kombinasi antara olahraga, hiburan, dan gaya hidup. Tetapi di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa padel berisiko terjebak dalam stigma eksklusifitas. Biaya sewa yang relatif mahal, fasilitas yang terbatas, dan citra olahraga kalangan atas membuatnya sulit diakses oleh masyarakat luas. Inilah tantangan kita bersama: bagaimana men-down to earth-kan padel, agar ia tidak berhenti sebagai tren elit, tapi tumbuh menjadi olahraga rakyat.

KONI Jawa Timur percaya, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, demokratisasi akses. Padel harus keluar dari pagar-pagar eksklusif. Fasilitas padel bisa dikembangkan di ruang publik, di kampus, sekolah, bahkan taman kota. Sama seperti futsal yang dulu hanya ada di pusat perbelanjaan lalu berkembang ke gang-gang kota, padel juga bisa dipopulerkan lewat lapangan komunitas yang sederhana. Kedua, harga yang terjangkau. Jika biaya bermain tetap tinggi, padel akan menjadi olahraga gaya hidup sesaat. Kita perlu model bisnis yang inovatif: klub komunitas dengan iuran rendah, program subsidi silang dengan sponsor, hingga sinergi dengan pemerintah daerah untuk membangun lapangan berbasis publik.

Ketiga, program inklusi untuk semua kalangan masyarakat. Bayangkan jika padel masuk ke kurikulum olahraga sekolah atau diperkenalkan lewat ekstrakurikuler di SMP dan SMA. Dengan lapangan yang lebih kecil dan permainan yang menyenangkan, padel bisa menjadi alternatif yang menarik bagi generasi muda. Dari sinilah ekosistem atlet bisa lahir, dari akar rumput, bukan dari segelintir klub eksklusif. Keempat, narasi yang membumi. Kita harus menceritakan sejarah padel dengan jujur: bahwa olahraga ini lahir dari garasi sederhana di Meksiko, bukan dari ballroom hotel. Bahwa padel adalah olahraga rakyat, yang bisa dimainkan siapa saja, tanpa memandang kelas sosial.

Kita bisa belajar dari perjalanan olahraga lain di Indonesia. Futsal, misalnya. Dulu ia dianggap mahal, hanya ada di pusat kota, bahkan sempat dicap olahraga elit urban. Tetapi begitu lapangan-lapangan futsal komunitas dibangun, olahraga ini menjelma menjadi fenomena massal. Begitu pula badminton. Pada awalnya, ia identik dengan kelas menengah, tetapi lewat narasi “dari kampung bisa juara dunia,” badminton menjadi olahraga rakyat yang membanggakan bangsa. Padel pun bisa menempuh jalan yang sama, jika kita mengembalikannya pada akarnya: sederhana, inklusif, dan menyenangkan.

Saya melihat potensi besar jika padel diarahkan dengan benar. Padel bisa menjadi olahraga yang mempersatukan. Dengan format ganda, ia mendorong kebersamaan, interaksi sosial, dan semangat komunitas. Bayangkan jika suatu hari nanti lapangan padel hadir di kampung-kampung kota, berdampingan dengan lapangan voli dan futsal. Anak-anak muda bisa berlatih, keluarga bisa berkumpul, UMKM di sekitar lapangan bisa hidup, dan olahraga ini menjadi bagian dari denyut sosial masyarakat. Inilah yang saya maksud dengan men-down to earth-kan padel: membawanya dari citra eksklusif ke fungsi sosial yang nyata.

Lebih jauh lagi, padel juga bisa menjadi arena pembinaan atlet masa depan. Dengan pertumbuhan global yang sangat cepat, peluang padel masuk ke agenda multi-event internasional semakin besar. Jika kita bergerak lebih awal, Indonesia bisa menyiapkan atlet padel sejak dini. Dan pembinaan itu tidak harus dimulai dari klub elit, melainkan dari sekolah, kampus, dan komunitas. Seperti kata pepatah, juara dunia lahir dari lapangan kampung, bukan dari fasilitas mahal semata.

Sebagai Wakil Ketua KONI Jawa Timur, saya melihat padel bukan hanya olahraga baru, tetapi juga simbol tantangan kepemimpinan olahraga: bagaimana membawa sesuatu yang lahir di ruang sempit Meksiko agar benar-benar bisa menjadi ruang besar bagi rakyat Indonesia. Bagi saya, padel adalah cermin bahwa olahraga tidak boleh terjebak eksklusifitas. Karena sejatinya, olahraga adalah hak publik. Ia harus inklusif, membumi, dan memberikan manfaat sosial.

Sejarah padel memberi kita pelajaran penting. Olahraga ini lahir bukan dari kemewahan, tetapi dari keterbatasan. Dan justru dari keterbatasan itulah lahir kreativitas yang akhirnya mendunia. Filosofi ini sejalan dengan semangat olahraga Indonesia: bahwa prestasi bisa lahir dari akar rumput, dari semangat gotong royong, dari tekad untuk mengubah keterbatasan menjadi peluang. Maka padel harus diarahkan kembali pada akarnya: sederhana, menyenangkan, dan inklusif.

Saya percaya, jika kita mampu men-down to earth-kan padel, maka olahraga ini bisa menjadi lebih dari sekadar tren. Ia bisa menjadi bagian dari bagian dari olahraga kita, membangun interaksi sosial, menghidupkan ekonomi lokal, dan bahkan melahirkan atlet-atlet yang mengharumkan Indonesia di panggung dunia. Karena pada akhirnya, hanya olahraga yang membumi yang akan bertahan. Dan hanya olahraga yang inklusif yang akan membawa manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *