4 September: Menyalakan Kembali Nyala Munir

headlinejatim.com —Pagi itu, 4 September 2004, langit Indonesia tampak biasa saja. Namun di hari itulah kabar duka menyambar, menyisakan luka panjang yang hingga kini belum sepenuhnya sembuh. Munir Said Thalib, seorang aktivis hak asasi manusia yang tak kenal takut, meninggal dunia dalam perjalanan menuju Belanda. Ia pergi bukan karena usia, bukan karena sakit, tetapi dalam misteri yang hingga kini masih meninggalkan tanda tanya.

Bagi sebagian orang, nama Munir mungkin hanya sebuah catatan sejarah. Tetapi bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan perjuangannya, Munir adalah nyawa dari sebuah harapan. Harapan bahwa keadilan bukan sekadar kata kosong. Harapan bahwa suara korban tidak selamanya terkubur dalam diam. Harapan bahwa bangsa ini benar-benar berani menghadapi luka masa lalunya.

Read More

Munir adalah sosok yang memilih jalan terjal. Di saat banyak orang memilih diam, ia bersuara. Di saat banyak orang memilih aman, ia melangkah ke barisan depan. Ia membela para keluarga korban penculikan, ia mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM, ia menantang kekuasaan yang kerap merasa kebal kritik. Ia bukan hanya bicara, ia berdiri bersama mereka yang tertindas, memberi ruang bagi suara yang kerap dipinggirkan.

Kehilangannya pada 2004 membuat Indonesia terhenyak. Banyak orang menangis, banyak yang marah, banyak yang bertanya: mengapa orang seberani ini harus pergi dengan cara seperti itu? Namun di balik kesedihan itu, lahirlah kesadaran baru: perjuangan untuk menegakkan HAM bukan hanya tugas seorang Munir, melainkan tugas semua orang yang mencintai negeri ini.

Dua puluh satu tahun berlalu. Setiap kali kita mengenang 4 September, seakan waktu berhenti sejenak untuk bertanya: bagaimana kabar demokrasi kita hari ini? Sudahkah bangsa ini menepati janji reformasinya? Ataukah kita justru mulai lupa, membiarkan suara kritis kembali dibungkam perlahan?

Kondisi Indonesia saat ini seakan mengulang babak ujian yang pernah dihadapi pascareformasi. Polarisasi politik yang tajam, maraknya ujaran kebencian, hingga kecenderungan menguatnya kembali sikap anti-kritik membuat kita kembali bertanya: apakah perjuangan Munir hanya akan dikenang sebagai kisah lama, ataukah benar-benar kita warisi?

Munir pernah berkata, “Kita boleh berbeda pendapat, tapi jangan pernah kehilangan nurani.” Kata-kata itu kini bergema lebih keras. Di tengah situasi bangsa yang kerap terseret kepentingan sempit, nurani menjadi kompas yang menuntun arah. Tanpa nurani, demokrasi hanya akan menjadi panggung kosong. Tanpa keberanian, hak asasi hanya akan menjadi jargon tanpa arti.

4 September bukan sekadar peringatan atas kepergian seorang aktivis. Ia adalah hari ketika bangsa ini diajak bercermin. Kita diingatkan bahwa keberanian untuk melawan ketidakadilan adalah fondasi sejati sebuah negara. Kita dipanggil untuk menjaga agar nyala itu tetap hidup, agar api yang pernah dinyalakan Munir tidak padam begitu saja.

Hari ini, dua puluh satu tahun setelah Munir pergi, kita mungkin masih merasa kehilangan. Tetapi kehilangan itu jangan dibiarkan hanya menjadi duka. Kehilangan itu harus menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Bahwa setiap dari kita punya tanggung jawab untuk melanjutkan jejak langkah Munir, dengan cara kita masing-masing, di ruang kita masing-masing.

Munir telah tiada, tetapi semangatnya tak pernah hilang. Dan setiap 4 September, sejarah berbisik lirih kepada bangsa ini: jangan pernah lelah membela kemanusiaan, sebab di situlah martabat kita sesungguhnya diuji.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *