headlinejatim.com —Tanggal 18 Juli mungkin hanya sebuah hari biasa bagi banyak orang. Namun bagi dunia, ia adalah pengingat tentang seorang manusia yang memilih memaafkan, bukan membalas. Yang memilih menyatukan, bukan membelah. Yang memilih mengalah demi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri: negaranya.
Itulah warisan Nelson Mandela, tokoh revolusi anti-apartheid dan presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan. Sejak 2009, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Nelson Mandela International Day, hari untuk merenungkan kembali makna keadilan sosial, rekonsiliasi, dan perdamaian.
Namun, di Indonesia tahun 2025, peringatan ini terasa lebih dari sekadar seremoni global. Ia seperti cermin besar yang menghadapkan kita pada kenyataan—tentang demokrasi yang retak, tentang luka politik yang belum sembuh, dan tentang kepemimpinan yang kian kehilangan makna moralnya.
Luka Pascapilpres dan Sunyinya Rekonsiliasi
Pemilu 2024 telah usai. Pemerintahan baru telah dilantik. Namun luka di tengah masyarakat belum benar-benar mengering. Polarisasi masih nyata, baik di dunia nyata maupun digital. Kampanye hitam, serangan personal, dan ketegangan antarkelompok masih membekas, bahkan menjadi identitas politik baru yang sulit dicairkan.
Pertanyaannya kini: adakah pemimpin yang berani mengambil jalan Mandela? Jalan yang sunyi, tapi agung. Jalan yang memaafkan demi masa depan. Bukan sekadar menyatukan koalisi di elit, tapi menyembuhkan masyarakat yang terbelah.
Di tengah tuntutan rekonsiliasi, banyak publik justru melihat pragmatisme dan kompromi elitis tanpa keberanian moral. Persis seperti kata Mandela:
“Kepemimpinan sejati tidak selalu terlihat di saat kemenangan, tetapi justru di saat kita memilih untuk tidak membalas dendam.”
Mandela dan Demokrasi Digital yang Bising
Nelson Mandela hidup di zaman surat kabar dan radio. Tapi nilai-nilainya justru lebih relevan di era algoritma media sosial yang kita hidupi sekarang. Ketika ruang publik makin bising dan penuh manipulasi, keberanian untuk diam, mendengar, dan memahami adalah kemewahan moral.
Hari ini, Indonesia menghadapi ujian besar. Demokrasi digital telah menciptakan kebebasan berekspresi, tapi juga banjir hoaks dan ujaran kebencian. Tanpa kehadiran pemimpin yang bijak dalam mengelola perbedaan, teknologi justru mempercepat perpecahan.
Mandela mungkin tak punya akun media sosial, tapi ia tahu bagaimana berbicara kepada hati rakyatnya. Itulah yang hilang dari banyak pemimpin hari ini.
Pendidikan sebagai Senjata Terkuat
Satu kutipan Mandela yang paling sering dikutip adalah, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Sayangnya, di Indonesia hari ini, pendidikan justru masih jadi titik lemah.
Wacana revisi kurikulum nasional masih berpolemik. Masalah intoleransi masih muncul di ruang-ruang sekolah. Dan jutaan anak di daerah 3T masih kesulitan mengakses guru, buku, bahkan bangku sekolah yang layak.
Pendidikan seharusnya tidak hanya meluluskan murid, tapi membentuk warga negara. Jika Indonesia ingin membangun perdamaian abadi seperti yang diperjuangkan Mandela, ia harus memulainya dari kelas-kelas sekolah, dari guru-guru yang bukan hanya mengajar, tapi mendidik dengan nilai dan kasih.
Belajar dari Negara Kecil dan Komik Pahlawan
Ironisnya, pada hari yang sama, Uruguay merayakan Hari Konstitusinya. Negara kecil ini dikenal dengan stabilitas hukumnya dan integritas pemimpin publiknya. Kontras dengan Indonesia yang sempat diguncang kontroversi hukum di Mahkamah Konstitusi pada 2024 lalu.
Dan di sisi lain dunia, 18 Juli 1943 adalah hari pertama kalinya komik Batman diterbitkan dalam bahasa Spanyol. Sekilas tampak tak relevan. Tapi dalam konteks hari ini, ketika budaya pop seperti webtoon dan komik menjamur di kalangan remaja Indonesia, justru di situlah peluang literasi baru. Karena seperti pahlawan fiktif, nilai-nilai bisa disisipkan dalam cerita yang sederhana.
Kita Butuh Mandela di Indonesia Hari Ini
Mandela tidak lahir di Indonesia. Tapi nilai-nilainya milik siapa saja yang percaya bahwa dunia bisa diubah dengan pengampunan, pendidikan, dan keberanian moral.
Indonesia tidak kekurangan pemimpin. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang berani untuk tidak membalas, tidak memecah, dan tidak memanipulasi. Kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus melangkah ke depan, dan kapan harus menengok ke belakang untuk menjemput yang tertinggal.
Di Hari Mandela tahun 2025 ini, pertanyaannya sederhana namun tajam: masih adakah ruang untuk harapan, atau kita sudah terlalu lelah untuk percaya?
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari serial refleksi kemanusiaan dan demokrasi yang dipublikasikan setiap tanggal peringatan tokoh dunia.
Jika Anda memiliki pengalaman, cerita, atau pemikiran soal tokoh-tokoh perdamaian dunia yang menginspirasi Anda, silakan kirimkan ke redaksi kami.