headlinejatim.com —Ada waktu yang dipilih dunia untuk mengingat kembali bahwa membaca dan menulis bukan sekadar keterampilan. Tanggal itu adalah 8 September, Hari Literasi Internasional. Sejak UNESCO menetapkannya pada 1966, yang pertama kali diperingati 1967, dunia diingatkan bahwa literasi adalah hak dasar manusia. Melalui konferensi di Teheran tahun 1965, pemerintah Iran menawari UNESCO ide sederhana namun kuat: memberikan penghargaan bagi mereka yang memberantas buta huruf. Sejak itu, dunia bersatu percaya bahwa literasi adalah jalan menuju peradaban sejati.
Hari ini, tema yang diusung UNESCO adalah “Literasi di Era Digital”. Era di mana layar menjadi buku, media sosial jadi guru, tetapi juga jebakan informasi. Di tengah derasnya arus digital, jutaan konten negatif dan hoaks terbentuk, menyusup ke ruang hidup generasi muda. Di Indonesia, lebih dari 365 juta perangkat gawai aktif, 143 juta pengguna media sosial, dan 212 juta pengguna internet mencerminkan bahwa hampir setiap orang punya akses ke dunia maya. Namun angka saja tidaklah cukup.
Program Literasi Digital Nasional telah menyentuh 30 juta jiwa di seluruh Nusantara, sebuah langkah besar namun masih belum mencakup keseluruhan. Skor literasi digital Indonesia yang berada di angka 3,54 dari skala 5 menunjukkan kita tengah berada di persimpangan: maju dalam penetrasi teknologi, namun membutuhkan peningkatan kesadaran kritis sekaligus etis.
Setiap hari, perempuan Indonesia menghadang risiko daring—sekitar 48% pernah jadi sasaran penipuan digital, serta lebih dari 1.700 kasus kekerasan gender online terjadi sepanjang 2024. Konten negatif yang terbanyak tersebar antara Oktober 2024 hingga Maret 2025—lebih dari 1,3 juta konten, termasuk judi dan pornografi—menunjukkan bahwa literasi digital bukan lagi soal bisa pakai gadget, tetapi soal bertahan dari gelombang informasi berbahaya.
Di sinilah empat pilar literasi digital pemerintah menjadi penting: Etika, Budaya, Keterampilan, dan Keamanan Digital. Bukan hanya soal teknis, tapi soal bagaimana kita berpikir kritis, bersikap bijak, serta aman dalam berinteraksi di ruang maya.
Namun harapan tidak padam. Komunitas baca tumbuh merambah pojok kafe, kampung, dan halte; perpustakaan keliling berusaha menembus pelosok; dan anak-anak muda bersama relawan menyalakan kembali api kecintaan membaca. Gerakan literasi digital yang terintegrasi ke kurikulum kini turut mengajarkan siswa menjaga keseimbangan mental. Sebab digital tanpa kendali bisa memicu stres hingga kesepian, dan literasi digital menjadi tameng sekaligus solusi atas krisis psikologis itu.
Hari Literasi Internasional bukan sekadar perayaan simbolis. Ia adalah ajakan cermat untuk menilai: apakah kita mampu berjalan dengan cahaya pengetahuan dan kepekaan di tangan? Kita mesti memastikan setiap anak Indonesia bukan hanya bisa membaca layar, tetapi juga mengurai makna di balik teks, membedakan fakta dari hoaks, menjaga diri, dan tetap utuh secara mental.
Di hari ini, 8 September, dunia kembali menyalakan lilin harapan literasi. Agar Indonesia tak sekadar melek huruf, tetapi juga melek zaman.