headlinejatim.com —Langit malam 7 September 2025 akan menjadi panggung bagi sebuah peristiwa kosmik yang langka. Gerhana bulan total akan hadir di cakrawala Indonesia. Peristiwa ini terjadi ketika bumi berdiri di antara matahari dan bulan, sehingga cahaya yang biasanya membuat bulan tampak terang tertutup sepenuhnya oleh bayangan bumi. Namun bukannya hilang, cahaya itu dibiaskan oleh atmosfer bumi dan hanya menyisakan spektrum merah oranye yang jatuh ke wajah bulan. Maka muncullah warna merah bata yang membuatnya dikenal sebagai Blood Moon.
Menurut catatan astronomi, gerhana kali ini berlangsung selama sekitar 82 menit. Angka itu menjadikannya salah satu gerhana bulan total terlama dalam dekade ini. Wilayah terbaik untuk menyaksikan meliputi Asia, Afrika, Eropa hingga Australia. Indonesia menjadi salah satu negeri yang beruntung karena dapat melihat puncak fenomena ini bila langit tidak berawan.
Gerhana bukan sekadar tontonan langit. Ia adalah pertunjukan keteraturan semesta yang terukur dalam hitungan detik dan derajat. Orbit yang tak pernah salah, rotasi yang setia pada lintasannya, cahaya yang berkelindan dengan presisi. Dari sana kita belajar tentang kesabaran. Ada masa terang, ada masa redup, namun semuanya tetap berjalan dalam harmoni.
Bagi banyak peradaban kuno, Blood Moon sering dianggap sebagai pertanda besar. Ada yang mengaitkannya dengan datangnya perang, ada yang percaya sebagai tanda pergantian zaman. Kini ilmu pengetahuan membuktikan bahwa fenomena itu hanyalah hasil dari mekanika langit yang pasti. Meski begitu daya magisnya tidak pernah pudar. Setiap kali bulan berubah warna, kita tetap terdiam menatapnya dengan rasa kagum yang tak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan angka dan teori.
Menariknya, 7 September juga menyimpan jejak hari-hari kecil yang dirayakan manusia. Ada Buy a Book Day, yang mengingatkan kita pada kekuatan ilmu dan imajinasi yang tersimpan dalam lembaran buku. Ada Superhuman Day, sebuah penghormatan kepada para atlet Paralimpiade yang menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan jalan menuju ketangguhan. Ada pula Pet Rock Day, peringatan sederhana yang mengajarkan bahwa bahkan sebuah batu bisa berarti ketika manusia memberinya makna.
Bayangkan pada malam bulan merah seseorang membuka halaman pertama dari buku baru yang dibelinya hari itu. Di tempat lain seseorang meneguk minuman dingin sambil tertawa bersama sahabat dalam suasana Beer Lovers Day. Seorang anak kecil di halaman rumahnya mungkin memungut sebuah batu kecil lalu memberinya nama. Semua tampak sederhana, tetapi tetap berlangsung di bawah cahaya bulan yang sama.
Langit memberi pelajaran lewat siklusnya yang abadi. Manusia memberi makna lewat perayaan kecil yang ia ciptakan sendiri. Pada 7 September 2025 keduanya bertemu dalam ruang waktu yang sama. Semesta menundukkan cahaya bulan hingga tampak merah, sementara manusia menegakkan imajinasinya lewat buku, persahabatan, atau bahkan sebongkah batu kecil.
Bulan merah bukan hanya fenomena astronomi. Ia adalah cermin kosmos yang berbisik pelan. Setiap redup pasti berganti terang. Setiap bayangan menyimpan cahaya. Setiap keterbatasan menyimpan daya untuk melampauinya.