headlinejatim.com —Sejarah selalu berbicara lewat tanggal-tanggalnya. Pada 3 September 1964, Monumen Nasional mulai ditegakkan. Ia bukan sekadar tugu batu, melainkan suluh yang menjulang ke langit, menyimpan doa dan tekad sebuah bangsa agar tak pernah tunduk pada keterbatasan. Dua dekade sebelumnya, pada 3 September 1945, Merah Putih mulai dikibarkan rakyat di berbagai pelosok negeri. Di tengah ancaman, bendera itu berkibar sebagai janji bahwa kemerdekaan bukan sekadar proklamasi, melainkan keberanian untuk hidup bermartabat.
Kini, delapan puluh tahun selepas kemerdekaan, kita pun menghadapi ujian zaman. Politik yang sering berisik, ekonomi yang penuh gelombang, dan persoalan sosial yang kadang membuat kita tercerai-berai. Namun sejarah memberi kita pelajaran: bangsa ini berdiri bukan karena tanpa masalah, melainkan karena mampu menjadikan masalah sebagai pengikat persatuan.
Monas yang kokoh berdiri menantang angin dan hujan adalah cermin bagi kita. Bahwa sebesar apa pun badai yang datang, bangsa ini mesti tetap tegak. Merah Putih yang dulu dikibarkan dengan taruhan nyawa adalah pengingat, bahwa harga sebuah persatuan jauh lebih tinggi daripada kepentingan sesaat.
3 September adalah ruang refleksi. Ia mengajarkan bahwa bangsa ini akan bertahan hanya jika kita berjalan bersama. Ia mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa keras kita berbeda, melainkan pada seberapa ikhlas kita bersatu.
Selama kita menjaga api persatuan itu, Indonesia akan terus menjulang, seperti Monas yang tidak sekadar berdiri, melainkan menyala sebagai cahaya bagi generasi yang datang.