headlinejatim.com — Sejak 25 Agustus 2025, wajah jalanan Indonesia berubah. Spanduk menjulang di udara, suara massa menggema di persimpangan kota, dan aroma gas air mata sesekali membelah sore. Dari langkah-langkah yang berdesakan itu, kita bisa merasakan satu hal yang nyata. Kesabaran rakyat sedang gugur.
Di belahan bumi utara, 1 September selalu datang sebagai gerbang musim gugur. Daun yang semula hijau berubah kuning, perlahan lepas dari ranting, lalu jatuh satu per satu ke tanah. Musim ini adalah tanda bahwa kehidupan selalu bergerak. Ada yang hilang agar yang baru bisa lahir. Indonesia tidak mengenal musim gugur, tetapi September selalu hadir dengan makna yang serupa.
Sejarah dunia pun mengingat tanggal ini dengan berbagai cerita. Pada 1 September 1939, Jerman menyerang Polandia dan api Perang Dunia II mulai menyala. Pada 1 September 1969, Khadafi menggulingkan Raja Idris I di Libya dan mengubah arah bangsanya. Pada 1 September 1985, Titanic yang lama hilang akhirnya ditemukan kembali di dasar laut Atlantik, seperti luka lama yang akhirnya muncul ke permukaan.
Indonesia memiliki kisah sendiri. Pada 1 September 1948, di Bukittinggi, lahirlah pendidikan Polisi Wanita. Sebuah tanda bahwa di tengah kerasnya konflik, bangsa ini juga membutuhkan kelembutan. Namun September juga membawa catatan kelam. Tragedi politik 1965 masih membekas hingga hari ini, menjadi pengingat bahwa luka bangsa bisa bertahan puluhan tahun.
Sekarang, September 2025 hadir dengan wajah yang berbeda. Tidak dengan perang atau kudeta, tetapi dengan riuh demonstrasi yang membuncah. Apa yang terjadi di jalanan bukan sekadar keributan. Ia adalah tanda retaknya kepercayaan. Ia adalah jeritan dari harapan yang merasa diabaikan. Dalam suasana ini, kita seakan memasuki musim gugur demokrasi. Daun-daun keyakinan rakyat jatuh satu per satu, menyisakan cabang yang meranggas.
Tetapi musim gugur tidak selalu berarti akhir. Seperti daun yang jatuh untuk memberi ruang bagi tunas baru, bangsa ini juga bisa menjadikan September sebagai titik balik. Lagu Green Day, Wake Me Up When September Ends, sering hadir di bulan ini. Sebuah lagu tentang kehilangan dan kerinduan, tentang duka yang bisa menjadi jalan menuju cahaya. Dari sana kita diingatkan, setiap luka bisa melahirkan kesadaran baru.
Bangsa ini masih memiliki pilihan. Pemerintah bisa membaca gugurnya kesabaran bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai tanda bahwa dialog harus dibuka kembali. Rakyat yang turun ke jalan bukan ingin meruntuhkan negeri, melainkan ingin memastikan janji keadilan tidak mati di tengah jalan. Seperti lahirnya Polwan pada 1948, kita diajak ingat bahwa kekuasaan yang hanya mengandalkan keras tanpa kelembutan hanya akan memperlebar jarak dengan rakyatnya.
September memang sarat beban sejarah. Ia bisa menyeret bangsa pada luka lama atau membuka pintu menuju lembaran baru. Tahun ini kita diberi kesempatan untuk menulis cerita yang berbeda. Menjadikan September bukan hanya bulan penuh duka, tetapi simbol keberanian untuk memulai musim yang lebih sehat bagi demokrasi.
Dari gugurnya kesabaran, semoga lahir kesadaran. Dari riuh jalanan, semoga lahir ruang dialog. Dan dari September 2025, semoga lahir keyakinan bahwa bangsa ini masih mampu tumbuh kembali, bahkan setelah melewati musim gugurnya sendiri.