Ketika Api Menyapa Rumah Indah: Luka Surabaya di Malam Sabtu

Surabaya, headlinejatim.com — Sabtu malam (30/8), jam digital di balai kota menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika sirene meraung-raung memecah suasana. Di Jalan Gubernur Suryo, pusat jantung Surabaya, kobaran api menjilat fasad putih Gedung Negara Grahadi. Gedung bersejarah berusia lebih dari dua abad itu terbakar di tengah gelombang demonstrasi yang berubah menjadi amuk massa.

Ratusan orang berpakaian hitam berjejal di depan gerbang. Mereka meneriakkan tuntutan, melemparkan batu, dan menyalakan petasan. Aparat keamanan membalas dengan gas air mata. Jerit suara bercampur dengan batuk tersengal, sementara bau menyengat mesiu dan karet terbakar menguasai udara.

Read More

Lalu, dalam sekejap, nyala api dari bom molotov merambat cepat. Api itu tak hanya melahap kayu jendela dan dinding megah Grahadi, tapi juga menyulut kesadaran kolektif warga Surabaya: bahwa sebuah rumah penuh sejarah kini sedang terluka parah.

Jejak Sejarah yang Mengakar

Bagi orang luar, Grahadi mungkin sekadar gedung pemerintahan bercat putih. Namun bagi warga Surabaya, ia adalah simbol yang lekat dengan identitas kota.

Dibangun pada 1795 oleh Dirk van Hogendorp, gedung itu berdiri di atas tanah 16.284 meter persegi. Lahan tersebut dulunya milik seorang Tionghoa, dibeli dengan harga segobang, sekitar 1,5 sen, sebuah angka kecil untuk ukuran hari ini, namun sakral dalam catatan sejarah.

Pembangunannya menghabiskan biaya 14.000 ringgit, menjadikannya rumah pejabat Eropa paling mewah di timur Jawa. Awalnya, bangunan ini menghadap Sungai Kalimas, namun pada 1802, orientasinya diubah menghadap jalan utama. Sejak itulah Grahadi tampil gagah, menatap arus zaman yang terus berganti.

Gaya arsitekturnya mengusung Empire Style khas Belanda, dengan pilar tinggi menjulang, ruang dansa, dan balkon luas tempat para pejabat kolonial menikmati suasana kota. Pada masa Jepang, ia ditempati Syuuchockan Kakka atau gubernur Jepang. Pasca-kemerdekaan, gedung ini sempat dipakai sebagai ruang sidang Raad van Justitie, hingga kemudian resmi menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Timur.

Hampir semua presiden Indonesia pernah menginjakkan kaki di aula megah itu. Dari Soekarno, Soeharto, hingga Presiden Jokowi. Grahadi bukan sekadar gedung, ia adalah album kenangan politik dan budaya yang hidup.

Malam Ricuh yang Meninggalkan Abu

Kericuhan mulai terasa sejak sore. Massa yang sebelumnya berorasi damai, mendadak beringas setelah senja turun.

• 19.27 WIB – Massa mulai melempar botol dan batu ke arah aparat.

• 20.15 WIB – Pos jaga rusak. Kendaraan di sekitar terbalik.

• 21.30 WIB – Barikade kawat berduri dijebol. Barisan aparat mundur beberapa langkah.

• 21.45 WIB – Api pertama muncul dari pagar barat.

• 22.14 WIB – Bom molotov dilempar, kaca pecah, api menyambar ruang kerja Wakil Gubernur.

• Sejumlah unit PMK dikerahkan. Namun, kobaran api lebih cepat dari semprotan air. Aula bagian barat, press room, hingga ruang dokumentasi ludes terbakar. Puluhan kendaraan dinas dan pribadi yang terparkir di halaman turut hangus.

• Hingga 23.00 WIB, api masih membara. Malam yang biasanya penuh riuh tawa anak muda Surabaya di sekitar Tunjungan, berubah menjadi malam kelam penuh kepanikan.

Luka Kolektif, Luka Surabaya

“Grahadi itu bukan milik pemerintah saja, tapi milik kita semua. Itu rumah sejarah,” ujar Agus Santoso, seorang sejarawan Surabaya, sambil menatap asap hitam dari kejauhan.

Benar, Grahadi adalah saksi bisu perjalanan panjang Surabaya: dari kota dagang kolonial, kota perjuangan, hingga kota metropolitan modern. Ia menyimpan memori generasi demi generasi.

Kini, sebagian dari memori itu ikut menjadi abu. Pilar-pilar putihnya yang dulu kokoh, kini hitam arang. Ruang dansa yang pernah dipenuhi musik klasik Belanda, kini kosong dengan bau hangus. Balkon yang dulu dipakai menyambut tamu negara, kini berlubang dimakan api.

Kebakaran ini tidak hanya merobek arsitektur. Ia merobek identitas kota.

Harapan dari Puing

Malam itu, Surabaya menangis. Namun di balik duka, terselip tekad. Warga yang menonton dari pinggir jalan sepakat: Grahadi harus dipulihkan. Tidak boleh dibiarkan hilang begitu saja.

“Kalau Monas bisa berdiri lagi setelah kerusuhan ’98, Grahadi juga bisa kita bangun kembali. Tapi sejarah yang hilang tidak bisa kita ganti,” kata seorang mahasiswa sambil menahan air mata.

Grahadi adalah rumah indah. Dan rumah, seberapa pun porak-porandanya, selalu bisa dibangun kembali. Yang terpenting adalah menjaga agar bara amarah manusia tidak lagi membakar memori sejarah bangsa.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *