GRESIK, headlinejatim.com– Dalam upaya mencegah penyebaran paham radikal di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, Polres Gresik bersama Tim Subsatgas Banops Humas Polri menggelar kegiatan kontra radikal bertema “Terorisme Musuh Kita Bersama” di Ruang Rupatama SAR Sarja Arya Racana Polres Gresik, Kamis (28/8/2025).
Kegiatan ini dihadiri berbagai elemen, mulai dari pejabat kepolisian, tokoh agama, hingga pengasuh pondok pesantren di antaranya Kabag Penum Divhumas Mabes Polri Kombes Pol Erdi A. Chaniago, Wakapolres Gresik Kompol Danu Anindhito Kuncoro, serta perwakilan MUI, NU, Muhammadiyah, LDII, FKUB, dan tokoh masyarakat Gresik.
Yang menarik, kegiatan ini menghadirkan Wildan,, mantan narapidana kasus terorisme asal Pasuruan, yang kini aktif sebagai penyuluh kontra radikalisme. Kehadirannya memberikan sudut pandang berbeda, sekaligus peringatan nyata tentang bahaya terpapar paham ekstrem.
Dalam kesaksiannya, Wildan menceritakan bagaimana ia terjerumus dalam jaringan radikal sejak 2010. Ia bahkan sempat bergabung dengan kelompok militan di Mosul, Irak, pada tahun 2013, berperan sebagai sniper dan perakit bom.
“Itu bukan jihad, melainkan jalan kematian yang dibungkus dengan janji surga,” ujarnya.
Namun kesadaran datang setahun kemudian. Ia memutuskan pulang dan kini berkomitmen untuk mencegah orang lain agar tidak mengikuti jejak kelamnya. Wildan menegaskan bahwa radikalisasi sering bermula dari hal-hal kecil seperti pergaulan tertutup, perubahan sikap, dan penyalahgunaan media sosial.
“Mereka yang rentan—anak muda yang broken home, haus pengakuan, atau sedang mencari jati diri—mudah sekali direkrut,” jelasnya.
Wakapolres Gresik Kompol Danu Anindhito dalam sambutannya menyampaikan bahwa media sosial kini menjadi lahan subur penyebaran ideologi ekstrem.
“Kita harus peka dan aktif mendeteksi sejak dini. Radikalisme bisa mengancam keutuhan bangsa dan nilai-nilai Pancasila,” tegasnya.
Senada dengan itu, Kombes Pol Erdi A. Chaniago mengingatkan pentingnya literasi digital. Ia menekankan bahwa generasi muda, khususnya santri, harus bijak menggunakan media sosial agar tidak terjebak konten radikal.
“Jangan sembarang menyebar informasi. Hati-hati dengan akun palsu yang memancing simpati lewat narasi keagamaan yang menyimpang,” katanya.
Kegiatan ini menjadi forum reflektif sekaligus edukatif, yang mempertemukan aparat, tokoh agama, dan masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif dalam melawan radikalisme. Kisah nyata Wildan menjadi bukti bahwa siapa pun bisa terpapar, namun siapa pun juga bisa berubah dan menjadi agen perdamaian.
“Melawan ekstremisme bukan hanya tugas aparat, tapi tanggung jawab kita semua,” pungkas Wildan.