headlinejatim.com —Kisruh royalti musik di Indonesia makin memanas. Pelaku usaha hiburan mengeluh, musisi kecewa, publik bingung ke mana uang miliaran rupiah itu mengalir.
Pengamat musik sekaligus Ketua Himpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan (Hiperhu) Surabaya, Goerge Hadiwiyanto, menegaskan sistem pengelolaan royalti saat ini “amburadul” dan wajib diaudit total.
“Hak pencipta itu wajib dihormati. Tapi cara pungut yang sekarang ini ngawur. Tidak ada transparansi, tidak ada akuntabilitas. Uang masyarakat diambil tapi tidak jelas pembagiannya,” tegas Goerge saat ditemui di Surabaya.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memang memberi perlindungan bagi pencipta lagu. Namun proses penyusunannya tidak melibatkan pelaku usaha secara memadai, sehingga aturan terkesan sepihak.
“Kalau mau adil, libatkan semua pihak saat bikin aturan. Jangan cuma bisa memungut tapi lemah saat menjelaskan kemana uang itu mengalir,” ujarnya.
Fakta yang Bikin Geram
Data LMKN menunjukkan hanya sekitar lima persen pelaku usaha yang taat membayar royalti. Banyak yang akhirnya mematikan live music karena tarif dinilai memberatkan. Di sisi lain, kata Goerge, ada musisi yang hanya menerima ratusan ribu rupiah meski dari satu tempat saja pungutan bisa miliaran.
“Saya produser lagu. Saya tahu betul bagaimana seharusnya royalti berjalan. Kalau pungutan sampai miliaran dari satu tempat, tapi musisi cuma terima beberapa juta, ini ada yang salah besar,” tegasnya.
Transparansi Jadi Harga Mati
Goerge menuntut LMK dan LMKN membuka semua data ke publik. Berapa dana yang masuk, berapa yang disalurkan, dan berapa yang dipakai operasional.
“Ini uang masyarakat. Masyarakat berhak tahu. Kalau mereka diam saja, itu artinya mereka menutup-nutupi,” kata Goerge.
Ia juga mendorong pemerintah memanfaatkan teknologi untuk memantau pemutaran lagu secara real time.
“Era digital itu peluang. Jumlah pemutaran lagu bisa dihitung akurat, terbuka, dan bisa diakses semua orang. Tidak ada alasan untuk tidak transparan,” tegasnya.
Skema Pungutan yang Aneh
Goerge juga mempertanyakan skema pungutan yang dihitung per meter atau per kursi.
“Di luar negeri, konser dihitung dari jumlah lagu yang dibawakan dan persentase tiket terjual. Tidak ada cerita luas ruangan jadi patokan. Kalau di sini, meteran ruangan bisa jadi alat pungut. Ini lucu tapi nyata,” kritiknya.
Negara Harus Turun Tangan
Goerge menegaskan negara tidak boleh tinggal diam. “Kalau dibiarkan, ini akan mematikan usaha, membuat musisi miskin, dan memancing kemarahan publik. Negara harus hadir, bukan cuma jadi penonton,” pungkasnya.