headlinejatim.com —Di sebuah ruang kelas madrasah yang menghadap ke lereng hijau Pulau Bawean, sekelompok siswa duduk bersila, sebagian memegang buku catatan, sebagian lainnya memperhatikan layar presentasi yang menampilkan peta kawasan konservasi. Dari balik jendela yang setengah terbuka, semilir angin laut membawa aroma tanah basah, mengiringi percakapan yang siang itu tak lagi soal pelajaran biasa.
Kegiatan itu bagian dari rangkaian program FOLU Goes To School Chapter 3, digelar di MA NU Padang Jambu, Senin, 4 Agustus 2025. Dengan tema “Edukasi Konservasi Lingkungan dan Pencegahan Kebakaran Hutan untuk Generasi Muda di Pulau Bawean”, sebanyak 50 siswa mengikuti sesi yang dirancang untuk menyisipkan kesadaran lingkungan ke dalam ruang belajar yang selama ini lebih banyak diisi pelajaran hafalan.
Materi tentang fungsi kawasan konservasi, ancaman kebakaran hutan, hingga keterkaitan antara hutan dan keseharian mereka disampaikan tanpa jargon. Bahasanya membumi, kontennya ditautkan dengan kenyataan yang mereka kenal, air sumur yang mulai menyusut, semak kering yang mudah terbakar, dan perubahan cuaca yang makin sulit ditebak.
Respons para siswa datang perlahan, lalu meluas. Beberapa mulai mengangkat tangan, sebagian mencatat, dan lainnya bergumam pelan sambil membandingkan materi dengan apa yang mereka lihat di kampung halaman. Ketika kuis edukatif digelar di penghujung sesi, hampir seluruh peserta terlibat, berebut menjawab, dengan raut wajah yang lebih mencerminkan rasa ingin tahu ketimbang sekadar keinginan menang.
Kegiatan ini menjadi bagian dari pemanfaatan dana layanan masyarakat melalui dukungan kerja sama Indonesia–Norwegia Tahap II, dalam kerangka besar Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Namun di Bawean, kebijakan besar itu turun ke tanah dalam bentuk diskusi hangat, gambar satwa endemik, dan kertas kecil berisi pertanyaan tentang bagaimana menjaga hutan dari kebakaran.
Program ini digawangi oleh Kelompok Pelestari Hutan (KPH) Bawean Lestari dan melibatkan tim dari Balai Besar KSDA Jawa Timur sebagai narasumber. Dalam pelaksanaannya, para narasumber lebih banyak menjadi penggerak dialog ketimbang pengajar. Mereka memancing, bukan menggurui.
Di antara para siswa, kesadaran muncul perlahan, sebagian bahkan dengan raut gugup, seolah baru menyadari bahwa hutan yang selama ini mereka anggap sekadar latar belakang kehidupan, ternyata punya peran vital yang rapuh. Ada yang mengaitkan bahasan dengan kebakaran kecil di kebun tetangga, ada yang membandingkannya dengan banjir kecil yang datang tak menentu.
Pelajaran hari itu tidak ditutup dengan rangkuman. Tidak ada catatan kesimpulan resmi. Yang tertinggal justru adalah suasana yang berubah. Senyap yang lebih dalam saat sesi usai. Sebuah pemahaman baru yang belum tentu bisa dirumuskan dalam kalimat utuh, tapi telah terbentuk di dalam kepala mereka, tentang hutan, tentang peran manusia, dan tentang pulau kecil yang bergantung pada keduanya. (dna)
Fajar Dwi Nur Aji – Pengendali Ekosistem Hutan Muda BBKSDA Jawa Timu