SURABAYA, headlinejatim.com — Ekonomi nasional belum menunjukkan geliat signifikan di bawah kepemimpinan presiden baru. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan Indonesia stagnan di bawah angka 5 persen. Bahkan untuk tahun depan, ekonom DR. Miguel Angel Esquivias memprediksi pertumbuhan hanya akan berkisar di angka yang sama.
”Sudah hampir satu tahun terakhir, berbagai sektor ekonomi menunjukkan kinerja yang stagnan, mulai dari sektor property, infrastruktur hingga energi. Satu-satunya sektor yang menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan adalah sektor teknologi, yang saat ini menjadi perhatian dan menarik banyak minat investasi,” ungkapnya dalam kegiatan “Inspire, Innovation Networking & Strategic Platform for Industrial Excellence” yang digelar Kadin Surabaya bekerjsama dengan Kadin Jatiim, Kadin Institute dan KMMB , Surabaya, Selasa (5/7/2025).
Menurut DR. Miguel, ada banyak faktor yang memengaruhi hal ini, salah satunya adalah gejolak ekonomi dunia yang mengakibatkan adanya perubahan kebijakan global. Hampir semua negara kini memiliki strategi nasional masing-masing untuk menjaga ekonomi mereka, dan hal tersebut secara tidak langsung ikut membatasi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun di tengah stagnasi itu, Jawa Timur justru dipacu dengan target ambisius: tumbuh 8% pada 2029. Bukan hal mudah. Provinsi ini memang menyumbang 25,11 persen ekonomi Pulau Jawa, dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp819,30 triliun pada triwulan I/2025.
Sayangnya, angka itu menyimpan ironi. “Sektor pertanian menyerap lebih dari 10 persen tenaga kerja, tapi kontribusinya ke ekonomi masih kecil,” ungkap Sekretaris Bappeda Jatim, Andhika Paratama Herlambang.Hal ini diperparah dengan kebiasaan Petani menjual hasil dalam bentuk mentah. Padahal, Jatim adalah lumbung pangan nasional, menjadi produsen terbesar untuk komoditas beras, jagung, susu, telur, bawang, hingga daging.
Sementara industri pengolahan hanya terpusat di kota-kota besar. Dari 38 kabupaten/kota, hanya empat daerah, Surabaya, Sidoarjo, Kediri, dan Pasuruan, yang kontribusi industrinya di atas 10 persen. Lebih dari separuh daerah menyumbang di bawah 1 persen.
“Pusat ekonomi menumpuk di segelintir titik. Ini perlu didorong lewat hilirisasi dan pemerataan industri,” tukas Andhika.
Wakil Ketua Kadin Surabaya, Medy Pramkoso, mengungkapkan potensi besar Surabaya sebagai simpul logistik dan transportasi nasional. Namun, menurutnya, biaya tambahan dalam proses produksi masih tinggi, menggerus daya saing perdagangan kota ini.
“Surabaya bisa jadi pusat pemulihan ekonomi nasional, asal mampu menekan biaya produksi dan mempercepat reformasi SDM,” ujarnya.
Sementara Ketua Kadin Jatim, Adik Dwi Putranto, menilai pertumbuhan ekonomi regional tak akan optimal tanpa investasi dan transformasi tenaga kerja. Apalagi saat ini, daya saing Indonesia masih kalah dibanding negara lain. Untuk itu, Kadin Jatim bersama Pemprov Jatim memiliki komitemen kuat untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing melalui pembentukan Tim TKDN di setiap kabupaten dan kota.
Ironisnya, dari 38 daerah di Jawa Timur, masih ada 10 yang belum memiliki TKDV, termasuk Surabaya. Padahal, kota ini diharapkan jadi lokomotif pembangunan SDM unggul dam berdaya saing. “Pemerintah daerah harus serius mengembangkan vokasi,” tegas Adik.
Di tengah tantangan besar itu, DR. Miguel menawarkan serangkaian solusi strategis, diantaranya adalah integrasi regulasi pusat-daerah lewat digitalisasi, zona investasi satu pintu, dan diplomasi perdagangan global yang agresif untuk memperkuat posisi tawar Indonesia.
Jawa Timur tetap menjadi harapan. Namun, untuk mengejar target pertumbuhan dan mempersempit ketimpangan, provinsi ini harus berani berubah, dari hulu ke hilir, dari pusat ke daerah, dari regulasi ke implementasi.