headlinejatim.com —Pernahkah kau menatap seekor capung yang hinggap di ujung ranting, sesaat sebelum terbang rendah menyentuh permukaan air? Tak banyak yang menyadari bahwa di balik gerak sunyinya, capung membawa pesan kehidupan yang dalam. Ia bukan makhluk mungil bersayap kaca semata. Ia adalah pertanda. Ia adalah penjaga sunyi dari dunia yang sedang terluka
Setiap tanggal tiga Agustus, sejumlah komunitas pencinta alam memperingati Hari Capung Sedunia. Tak tercatat dalam kalender internasional. Tak diliput secara luas di media. Namun justru karena itulah peringatan ini terasa lebih jujur. Sebuah hari yang lahir dari kesadaran. Bukan dari seremonial. Hari untuk mengingat bahwa alam berbicara. Hanya saja kita terlalu bising untuk mendengarnya
Di Mana Ada Capung, Di Sana Pernah Ada Air yang Bersih
Capung adalah makhluk amfibi yang hidup dalam dua dunia. Larvanya di dalam air. Dewasanya di udara. Ia tak bisa tumbuh di tempat yang kotor. Maka bila engkau melihat capung beterbangan, itu bukan keajaiban kecil. Itu adalah penanda bahwa air di sekitarmu masih bernapas
Dalam dunia ekologi, capung disebut bioindikator alami. Ia tak bisa berbohong. Keberadaannya menyampaikan bahwa lingkungan setidaknya masih memberi ruang untuk kehidupan. Namun ruang itu kian sempit
Jejak Waktu dari Masa Purba
Capung bukan tamu baru di bumi. Ia telah ada sejak lebih dari tiga ratus juta tahun lalu. Di zaman purba, nenek moyangnya memiliki rentang sayap yang bisa menyamai panjang lengan manusia dewasa. Mereka hidup berdampingan dengan pepohonan raksasa dan atmosfer yang jauh lebih bersih dari hari ini
Kini capung tetap bertahan. Meski tak sebesar dulu, ia tetap setia menjaga perairan. Menari di atas kolam. Mengawasi dari ujung dedaunan. Di Indonesia, lebih dari tujuh ratus spesies capung telah tercatat oleh para peneliti. Sebuah kekayaan yang nyaris tak disebut dalam ruang-ruang publik. Padahal mereka sedang sekarat satu per satu. Rawa diuruk. Sungai dicemari. Udara dikotori oleh keserakahan
Hening yang Bicara
Ada sesuatu yang damai dari capung. Ia tidak menuntut ruang. Tidak menyerbu manusia. Ia hanya hadir. Diam… Ringan…. dan Tepat. Tetapi di balik keheningan itu, tersimpan jeritan yang tak terdengar. Jika engkau mampu menyelaminya, kau akan tahu bahwa alam sedang berteriak
Hari Capung Sedunia bukan tentang perayaan. Ia adalah ajakan untuk menunduk dan merenung. Tentang bagaimana kita memperlakukan air. Tanah. Langit. Tentang bagaimana kita sering lupa bahwa kehidupan yang kecil sekalipun memiliki peran dalam rantai semesta
Ketika yang Kecil Tak Lagi Ada
Kita sering baru sadar akan sesuatu ketika ia hilang. Capung mungkin satu dari sekian banyak makhluk yang akan hilang lebih dulu sebelum manusia menyadari kerusakan yang telah diperbuatnya. Saat itu mungkin sudah terlambat. Karena hilangnya capung bukanlah akhir bagi capung. Tapi awal dari keruntuhan bagi kita