2 Agustus dan Cita Rasa Nusantara: Di Mana Rasa Adalah Warisan

headlinejatim.com —Tanggal 2 Agustus barangkali bukan hari besar kuliner nasional. Namun di negeri yang dikaruniai tanah subur, laut yang kaya, dan budaya yang melimpah dari Sabang hingga Merauke, setiap hari sejatinya adalah hari untuk merayakan rasa.

Pada tanggal ini, tahun 1914, Kota Sukabumi diresmikan. Sebuah kota berudara sejuk di Jawa Barat, yang sejak masa kolonial telah menjadi tempat persinggahan. Di antara rumah-rumah peninggalan Belanda, aroma sejarah turut tercium lewat sajian seperti semur, klappertaart, dan roti gambang.

Read More

Namun Sukabumi hanyalah satu titik dari peta kuliner Nusantara yang begitu luas dan berwarna.

Kuliner yang Bercerita tentang Identitas

Indonesia memiliki lebih dari lima ribu jenis masakan tradisional. Dari jumlah itu, lebih dari tiga puluh telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagian di antaranya bahkan telah didaftarkan ke UNESCO.

Rendang dari Minangkabau bukan hanya soal rasa gurih. Di balik bumbu dan api kecil yang menyala berjam-jam, tersimpan filosofi hidup yang diajarkan secara turun-temurun. Tentang kesabaran, tentang menghargai proses, dan tentang kekuatan rasa yang terjaga.

Di Ternate, masyarakat menyajikan gohu ikan sebagai bentuk kearifan pesisir. Tidak perlu banyak bahan, cukup kesegaran dan kejujuran dalam penyajian.

Di Toraja, pa’piong dimasak dalam bambu sebagai bentuk hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Di Kalimantan, juhu singkah menjadi bukti bahwa apa yang tumbuh di hutan bisa diramu menjadi kekayaan gizi dan budaya.

Setiap daerah memiliki rasa. Setiap rasa menyimpan cerita. Makanan menjadi narasi tentang siapa kita dan bagaimana kita hidup.

Tradisi yang Menyatukan dari Piring ke Piring

Masyarakat Indonesia tidak hanya mengenal makan. Kita mengenal makan bersama.

Tradisi liwetan di Jawa, makan bajamba di Minangkabau, atau makan patita di Maluku, semuanya berbicara tentang nilai-nilai luhur. Tidak ada yang makan lebih dahulu. Tidak ada yang merasa lebih tinggi. Semua duduk bersama dan berbagi dalam kesetaraan.

Data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari enam puluh persen komunitas adat di Indonesia masih mempertahankan budaya makan bersama ini. Di tengah gempuran gaya hidup individual, tradisi ini bertahan sebagai penjaga kebersamaan dan penghormatan terhadap sesama.

Ketahanan yang Tumbuh dari Dalam Tanah

Di saat dunia sibuk mencari solusi terhadap ancaman krisis pangan, Indonesia sesungguhnya memiliki jawabannya sejak lama. Jawaban itu terletak di ladang, di pekarangan, di dapur, dan di warung-warung pinggir jalan.

Tempe, hasil fermentasi kacang kedelai, telah diakui sebagai superfood oleh para ahli gizi dunia.

Sagu dari Papua, papeda yang disantap dengan ikan kuah kuning, adalah contoh pangan lokal yang bergizi dan ramah lingkungan.

Di Nusa Tenggara Timur, daging se’i yang diasapi secara perlahan memberi rasa yang khas sekaligus daya tahan tinggi tanpa perlu pendingin.

Di Bali, lawar menjadi hidangan sakral yang tidak sekadar makanan, melainkan bagian dari upacara dan doa.

Masyarakat kita hidup berdampingan dengan alam. Mereka tidak hanya memanen hasilnya, tetapi juga merawat dan memaknainya. Pangan lokal bukan hanya tentang alternatif, tetapi tentang kedaulatan.

Meja Makan sebagai Ruang untuk Mewarisi Nilai

Makanan tidak hanya mengisi perut. Ia menyentuh hati. Ia menghubungkan manusia dengan masa lalu, dengan leluhur, dan dengan sesama.

Di setiap cobek sambal yang ditumbuk oleh ibu, tersimpan kesabaran dan kasih sayang yang tidak tercatat dalam buku mana pun.

Di setiap kuah opor yang kental, tersimpan kenangan masa kecil, aroma Lebaran, dan kisah tentang rumah yang penuh tawa.

Menjaga rasa artinya menjaga warisan. Menghidangkan makanan tradisional di meja makan adalah bentuk kecil dari menjaga bangsa agar tidak tercerabut dari akarnya.

Kita Adalah Apa yang Kita Hidangkan
Tanggal 2 Agustus bisa menjadi titik kecil untuk mengingat sesuatu yang besar. Bahwa kita punya kekayaan rasa yang bukan hanya milik lidah, tetapi juga milik sejarah dan budaya.

Saat kita menyendok nasi uduk, menikmati rawon, mencocol sambal matah, atau menyeruput soto betawi, sesungguhnya kita sedang menyambung garis panjang peradaban.

Selama kita tidak lupa rasa, selama kita menjaga tradisi makan bersama, selama kita memilih untuk mencintai masakan ibu dan nenek kita, maka Indonesia tidak akan kehilangan dirinya.

Karena selama rasa itu terjaga, kita tidak sekadar makan. Kita sedang pulang.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *