headlinejatim.com— Di balik runtuhnya fondasi ekonomi Indonesia pada 1998, tersembunyi sebuah kesadaran yang lahir dari luka: negeri ini membutuhkan tatanan yang lebih adil, lebih kuat, dan lebih tahan terhadap godaan kekuasaan sesaat. Lalu, pada 1 Agustus 1999, sebuah keputusan besar diambil. Bank Indonesia “lembaga keuangan tertinggi negara” memilih untuk berdiri sendiri.
Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia resmi menjadi bank sentral yang independen, tak lagi berada di bawah bayang-bayang kekuasaan eksekutif. Bukan pembangkangan, tetapi justru bentuk pengabdian paling murni: melindungi nilai rupiah, menjaga kestabilan harga, dan memastikan rakyat tak lagi terseret dalam badai krisis karena ulah kebijakan yang tak berpijak pada kepentingan jangka panjang.
Sebelumnya, BI kerap menjadi alat penyangga kebijakan pemerintah, menyuntik dana untuk kepentingan jangka pendek, bahkan ketika logika ekonomi menolak. Akibatnya, ketika krisis Asia datang menerjang, nilai rupiah jatuh lebih dari 600%, perbankan kolaps, dan rakyat menanggung derita panjang. Semua itu menjadi pelajaran: bahwa ekonomi yang sehat butuh pengawasan yang jernih, bukan sekadar loyalitas politik.
Menapak Jalan Sunyi Independensi
Awal reformasi bukan tanpa tantangan. Di masa transisi 1999 hingga 2004, Bank Indonesia harus mengembalikan kepercayaan publik, memperbaiki sistem pengawasan, serta memperkuat kredibilitas kebijakan moneter. Langkah-langkah itu terus disempurnakan:
- BI memperkenalkan kerangka pengendalian inflasi berbasis sasaran, bukan sekadar respons terhadap pasar.
- Suku bunga acuan disempurnakan dari BI Rate menjadi BI 7-Day Reverse Repo Rate.
- Fungsi pengawasan perbankan dipindahkan ke OJK, agar BI lebih fokus pada stabilitas nilai tukar dan sistem pembayaran.
Tidak selalu mudah. Dalam setiap gejolak global “dari krisis 2008, perang dagang, hingga pandemi” Bank Indonesia dipaksa bersikap tegas, berpikir panjang, dan kadang berdiri sendiri menghadapi tekanan. Namun independensi itulah yang memungkinkan keputusan-keputusan bijak lahir dari kajian, bukan kepanikan.
Data Tak Pernah Bohong: Hasil dari Perjalanan Panjang
Inflasi, yang dulu pernah menyentuh 58% di akhir 1998, kini terkendali di angka 3–4% per tahun.
Cadangan devisa Indonesia mencapai USD 150 miliar pada pertengahan 2025, salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah.
Stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga meski dunia mengalami gelombang geopolitik dan ketidakpastian ekonomi.
Lebih dari 30 juta merchant UMKM telah mengadopsi QRIS, membawa rakyat kecil masuk dalam sistem pembayaran digital nasional.
BI kini memimpin langkah menuju ekonomi hijau dan digital, termasuk penerbitan Digital Rupiah sebagai mata uang masa depan Indonesia.
Lebih dari Sekadar Lembaga Keuangan
Bank Indonesia hari ini bukan sekadar pengendali suku bunga atau penjaga inflasi. Ia telah tumbuh menjadi penjaga kepercayaan, penggerak inklusi, dan penata arah baru bagi ekonomi bangsa. Ketika dunia berubah cepat, BI justru melambangkan sesuatu yang tetap: komitmen pada integritas, keberlanjutan, dan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Independensi bukan berarti berjarak. Justru karena BI tidak tunduk pada kepentingan jangka pendek, ia bisa lebih jujur melihat masa depan. Ketika negara tergoda menggelontorkan subsidi tanpa dasar, BI bertanya: “Apa dampaknya lima tahun ke depan?” Ketika mata uang asing membanjiri negeri, BI menjaga agar rupiah tetap berharga dan bermartabat.
Refleksi dari Sebuah Pilihan
Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak BI memilih jalan independen. Di tengah hiruk-pikuk dunia, langkah itu terasa seperti suara lirih yang tak pernah padam: bahwa untuk menjadi kuat, sebuah bangsa harus belajar berkata “tidak” pada hal yang merusak masa depannya sendiri.
Maka pada setiap 1 Agustus, mari kita ingat bukan hanya lahirnya lembaga independen, tetapi juga lahirnya kesadaran kolektif bahwa stabilitas ekonomi adalah hak rakyat, bukan komoditas politik.
Dan bahwa kemerdekaan berpikir demi bangsa (meski sunyi), adalah jalan yang selalu patut ditempuh.