Persahabatan: Bahasa Sunyi yang Menyelamatkan Dunia

headlinejatim.com —Setiap tanggal 30 Juli, dunia diajak berhenti sejenak untuk merenung. Bukan tentang kekuasaan atau pencapaian besar. Bukan pula tentang senjata atau dominasi. Hari ini adalah tentang sesuatu yang sering dianggap remeh tetapi justru memegang kunci peradaban: persahabatan.

Hari Persahabatan Internasional, yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, bukan hanya perayaan seremonial. Ia adalah seruan diam yang menggema di antara bisingnya dunia. Seruan untuk kembali melihat manusia sebagai manusia. Untuk kembali percaya bahwa kebaikan bisa dimulai dari satu tangan yang menggenggam tangan lain, dari satu hati yang memilih mendengar dan memahami.

Read More

Persahabatan tidak mengenal bendera. Ia tidak bertanya apa warna kulitmu, bahasa ibumu, atau agama yang kau peluk. Ia hanya tahu satu hal: bahwa setiap manusia berhak dirangkul, bukan dijauhi. Didengar, bukan dihakimi. Diterima, bukan dicurigai.

Dalam sejarah, kita kerap menyaksikan kekerasan pecah karena prasangka. Namun kita juga menyaksikan bagaimana damai perlahan tumbuh dari relasi-relasi kecil. Seorang pemuda dari negeri konflik yang diam-diam belajar bahasa musuhnya karena ingin memahami. Seorang perempuan dari desa terpencil yang mengirim surat kepada temannya di seberang benua, hanya untuk bertanya apakah ia baik-baik saja. Sebuah pelukan di kamp pengungsian yang lahir tanpa kata, namun cukup untuk meruntuhkan dinding kecurigaan.

Persahabatan seperti itu tidak muncul di layar utama berita. Ia tidak memerlukan panggung. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia tumbuh dalam senyap, namun mampu merobohkan tembok yang tak bisa dihancurkan oleh pidato para pemimpin.

Hari ini, kita diajak kembali bertanya kepada diri sendiri: apakah aku telah menjadi sahabat? Apakah aku hadir, bukan hanya untuk yang serupa denganku, tetapi juga bagi yang berbeda? Karena dunia tidak akan sembuh oleh peraturan semata. Dunia hanya akan pulih jika kita memilih menjadi jembatan, bukan tembok. Menjadi pelipur, bukan pelontar luka.

Persahabatan bukan sekadar relasi antarindividu. Ia adalah kompas moral yang mengingatkan kita ke mana arah kemanusiaan seharusnya dibawa. Ketika segala hal terasa retak, barangkali yang paling kita butuhkan adalah satu tangan yang tetap memilih menggenggam.
Dan di sanalah, dunia mulai pulih.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *