headlinejatim.com —Dalam riuhnya zaman yang bergerak cepat, terkadang kita lupa merenungi akar dari kemajuan dan suara dari kegelisahan. Tanggal 24 Juli mencatat kelahiran dua tokoh besar Indonesia, seorang Bacharuddin Jusuf Habibie dan sesosok Iwan Fals. Dua nama yang menempuh jalan berbeda, namun keduanya sama-sama berjuang menyulam masa depan Indonesia dengan caranya sendiri.
Satu membangun negeri lewat kepak ilmu dan teknologi. Yang lain mengetuk nurani bangsa lewat denting gitar dan lirik yang jujur. Di antara keduanya, kita menemukan peta arah: bahwa kemajuan tidak boleh kehilangan hati, dan bahwa kepekaan tidak boleh berjalan tanpa visi.
BJ Habibie: Teknologi yang Lahir dari Cinta
Bacharuddin Jusuf Habibie, lahir pada 24 Juli 1936 di Parepare, adalah simbol bahwa kecerdasan tidak pernah cukup jika tidak disertai cinta pada tanah air. Ia menolak nyaman di luar negeri, meski disanjung dan dibutuhkan. Ia memilih kembali ke tanah kelahirannya, membawa ilmu yang ia pupuk selama bertahun-tahun di Jerman. Semua itu bukan demi kekuasaan, melainkan karena keyakinan bahwa bangsa ini tidak ditakdirkan menjadi penonton di panggung global.
Habibie bukan hanya ilmuwan. Ia adalah pemimpi yang percaya bahwa Indonesia bisa terbang tinggi, tidak hanya dalam mimpi, tetapi dalam kenyataan yang dibangun oleh tangan-tangan anak bangsanya sendiri. Ia mengajarkan bahwa teknologi bukan sekadar soal mesin dan angka, tetapi soal kedaulatan, keberanian, dan keyakinan bahwa bangsa ini pantas memimpin takdirnya sendiri.
Di tengah arus pragmatisme dan politik yang sering dangkal, warisan Habibie terasa semakin relevan. Ia adalah pengingat bahwa bangsa yang besar tidak dibangun dari keberuntungan, tetapi dari keberanian untuk memilih jalan yang sulit: membangun kapasitas manusia, mendidik dengan sepenuh hati, dan tidak pernah menjadikan ilmu sebagai alat kekuasaan.
Iwan Fals: Suara yang Tidak Bisa Dibungkam
Pada 24 Juli 1961, lahir seorang anak yang kelak suaranya menembus batas-batas senyap: Iwan Fals. Ia bukan penyanyi biasa. Ia adalah penyaksi zaman. Lirik-liriknya seperti cermin yang dipantulkan ke wajah bangsa, memaksa kita melihat luka yang sudah terlalu lama disembunyikan di balik etalase pembangunan.
Iwan menyuarakan hal-hal yang kerap tidak nyaman didengar. Tentang petani yang tersisih, tentang nelayan yang dilupakan, tentang rakyat yang diabaikan. Ia tidak bicara dengan kemarahan, tetapi dengan kejujuran. Itulah mengapa suaranya bertahan, meski penguasa silih berganti.
Di tengah banjir informasi yang kian dangkal dan penuh tipu daya algoritma, karya-karyanya menjadi penawar: bahwa kejujuran masih bisa tumbuh, bahwa suara hati tidak harus ditelan sunyi. Musiknya adalah bukti bahwa seni bisa menjadi kekuatan moral, dan bahwa perubahan bisa dimulai dari satu suara yang tak takut berkata benar.
Dua Lahir, Satu Pesan
Habibie dan Iwan Fals lahir di hari yang sama, namun dari dunia yang berbeda. Satu membangun dari langit pemikiran dan teknologi. Yang lain menggugah dari tanah realitas dan suara rakyat. Namun keduanya menyimpan pesan yang serupa: bahwa membangun bangsa adalah tugas yang memerlukan nalar dan nurani sekaligus.
Bagi generasi muda, 24 Juli bukan hanya soal peringatan hari lahir tokoh besar. Tapi tentang warisan sikap: untuk bermimpi setinggi langit tanpa melupakan akar, untuk berani berpikir dan juga berani merasa, untuk tetap menyuarakan kebenaran ketika sunyi terasa lebih aman.
Dan bagi para pemangku kebijakan, hari ini adalah pengingat: bahwa kemajuan tidak bisa dibeli, dan keadilan tidak boleh ditunda. Habibie mengingatkan pentingnya berdaulat dalam ilmu. Iwan Fals mengingatkan pentingnya mendengar suara yang sering dilupakan.
Indonesia tidak kekurangan tokoh. Yang kita butuhkan hari ini adalah keberanian untuk mewarisi nilai-nilai mereka, bukan sekadar nama, tapi semangatnya. Di antara lirik dan laboratorium, 24 Juli memberi kita cermin: tentang siapa kita, dan siapa yang ingin kita jadi.