Hari Anak Nasional 2025: Suara Mereka, Harapan Kita

Surabaya, headlinejatim.com— Di tengah gemuruh teknologi dan derasnya arus informasi, suara anak-anak Indonesia justru terdengar semakin lantang. Bukan sekadar celoteh polos penuh tawa, melainkan harapan dan kegelisahan mereka terhadap masa depan. Terhadap dunia yang sedang mereka warisi dari generasi dewasa saat ini.

Hari Anak Nasional yang diperingati setiap 23 Juli kembali menjadi momen penting untuk melihat Indonesia dari sudut pandang yang sering kali terlupakan, yaitu mata anak-anak. Tema nasional tahun ini, “Anak Terlindungi, Indonesia Maju Berkelanjutan”, bukan hanya slogan, melainkan panggilan bagi semua pihak untuk kembali memaknai arti perlindungan dan keterlibatan anak dalam pembangunan.

Read More

Dari Gang Sempit ke Panggung Suara

Di sebuah gang sempit di pinggiran Kota Surabaya, Rara (10), siswa kelas lima SD, berceloteh tentang mimpinya menjadi penulis buku cerita anak. Di rumah kontrakan kecil yang juga menjadi warung ibunya, Rara terbiasa menulis di belakang kertas bekas struk belanja.

“Aku mau bikin buku tentang anak-anak yang bisa bikin dunia jadi lebih baik. Supaya orang dewasa tidak lupa kalau kami juga bisa berpikir,” ujarnya sambil tersenyum malu.

Rara adalah satu dari jutaan anak Indonesia yang hidup di tengah keterbatasan, tetapi menyimpan potensi besar. Tidak semua anak seberuntung dia yang masih bisa bersekolah. Data dari BPS dan KPAI menunjukkan, pada 2024 masih ada lebih dari 4,2 juta anak Indonesia yang hidup dalam kondisi rentan. Baik karena kemiskinan, kekerasan, keterbatasan akses pendidikan, maupun disabilitas.

Bukan Sekadar Hari Seremonial

Psikolog anak dari Universitas Airlangga, Dr. Nurhasanah, menekankan bahwa Hari Anak Nasional harus menjadi ruang refleksi, bukan hanya seremoni.

“Anak-anak bukan miniatur orang dewasa. Mereka punya dunia sendiri yang harus dihargai. Perlindungan anak bukan berarti mengatur mereka sekehendak kita, melainkan memberi ruang tumbuh yang sehat, aman, dan penuh cinta,” ujar Nurhasanah.

Ia juga menyoroti pentingnya literasi digital dan perlindungan anak dari paparan konten negatif, termasuk kekerasan berbasis daring yang meningkat selama dua tahun terakhir.

Kebijakan Tidak Cukup Tanpa Rasa

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) terus menggencarkan program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Namun, banyak pihak menilai upaya tersebut belum menyentuh jantung masalah.

“Anak-anak butuh lebih dari sekadar undang-undang. Mereka butuh didengar. Butuh rasa aman saat pulang sekolah, bukan takut dimarahi atau dilecehkan. Butuh taman bermain, bukan hanya layar ponsel,” kata Rika, seorang relawan komunitas anak di Malang.

Dunia yang Akan Mereka Lanjutkan

Hari ini, mungkin suara anak-anak masih kecil. Namun, merekalah yang kelak akan menjadi suara bangsa ini. Mereka yang akan duduk di kursi pengambil keputusan, menjadi dokter, guru, penulis, bahkan pemimpin bangsa.

Menjadi tugas kita semua (orang tua, guru, masyarakat, dan negara) untuk tidak hanya melindungi mereka dari kekerasan, tetapi juga memberi ruang tumbuh yang subur bagi imajinasi dan impian mereka.

Sebab masa depan Indonesia bukan hanya tentang teknologi, infrastruktur, atau pertumbuhan ekonomi. Melainkan tentang bagaimana anak-anaknya merasa dicintai, dihargai, dan diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *