Pelajaran dari Hamelin: Seruling, Janji, dan Kehilangan yang Tak Kembali

headlinejatim.com —22 Juli. Tidak banyak yang mengenal tanggal ini sebagai hari yang istimewa. Tapi di Jerman dan Amerika Serikat, tanggal ini diperingati sebagai National Rat Catcher’s Day, Hari Peniup Seruling, sebuah pengingat dari kisah lama yang masih relevan hingga kini. Legenda ini tak hanya tentang tikus, tetapi tentang kejujuran, harga sebuah janji, dan bagaimana keserakahan bisa berujung pada kehilangan yang tak tergantikan.

Seruling yang Menuntun Tikus dan Anak-Anak

Di abad ke-13, kota kecil Hamelin di Jerman dilanda wabah tikus. Warga yang ketakutan menerima bantuan dari seorang asing berbaju mencolok. Ia membawa alat sederhana: seruling. Namun dari alat itulah keajaiban bermula.

Read More

Ia meniup serulingnya, dan ribuan tikus keluar dari sarangnya, tertarik oleh melodi magis. Tikus-tikus itu dituntun ke Sungai Weser dan tenggelam. Kota pun bebas dari wabah. Tapi saat waktunya membayar, para pemimpin kota menolak. Mereka menganggap tugas itu terlalu mudah, dan lelaki asing itu tidak pantas dibayar tinggi.

Beberapa hari kemudian, ia kembali. Kali ini meniup seruling bukan untuk tikus, tetapi untuk anak-anak. Dengan nada yang sama, namun tujuan yang berbeda, anak-anak kota Hamelin mengikuti iramanya. Mereka berjalan, menari, dan menghilang di dalam sebuah gua. Tak pernah ditemukan. Tak pernah kembali.

 

Legenda atau Peringatan yang Terlambat Didengar

Nama tokohnya: The Pied Piper of Hamelin. Ia hadir dalam banyak versi, dari catatan kuno gereja, puisi karya Robert Browning, hingga cerita rakyat yang dikumpulkan oleh Grimm bersaudara.

Tapi maknanya tetap sama: jangan pernah ingkar pada janji, terutama ketika janji itu menyangkut keadilan bagi mereka yang telah bekerja keras dan jujur.

 

Lebih dari Sekadar Cerita: Cermin untuk Kita Semua

National Rat Catcher’s Day bukan sekadar penghormatan pada dongeng. Ia adalah panggilan untuk melihat sekitar, dan ke dalam diri sendiri. Betapa sering kita menunda kewajiban kepada orang yang jasanya tak kasat mata, yang hadir lalu pergi setelah menyelesaikan tugasnya.

Mereka bisa jadi penulis lepas, pekerja kreatif, tukang kebun, teknisi malam hari, pengemudi, atau bahkan teman satu tim yang jarang mendapat ucapan terima kasih. Kita menyebut mereka “freelancer”, “pekerja lapangan”, atau hanya “orang suruhan”. Tapi mereka, seperti si peniup seruling, adalah orang-orang yang menyelesaikan kekacauan yang tidak bisa kita tangani sendiri.

Dan ketika mereka tak kita hargai, kita tidak hanya mengabaikan jasa, tapi juga mempertaruhkan kehilangan yang lebih besar “kepercayaan”.

 

Seruling Itu Masih Berbunyi

Tak semua kehilangan terasa saat itu juga. Beberapa datang diam-diam. Seperti anak-anak Hamelin yang berjalan perlahan, menari keluar dari kota, lalu lenyap tanpa jejak. Begitulah kepercayaan: sekali hilang, sulit dicari. Dan kadang, tak akan kembali.

Hari ini, 22 Juli, mari jadikan legenda itu sebagai cermin.

Sudahkah kita menepati janji?

Sudahkah kita membayar dengan pantas kepada yang layak?

Sudahkah kita belajar dari Hamelin sebelum seruling terakhir itu ditiup?

Karena sesungguhnya, yang paling menakutkan dari cerita lama bukanlah kehilangan anak-anak. Tapi bagaimana kita terus mengulang kesalahan yang sama.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *