Mahkamah Konstitusi dan Luka yang Belum Sembuh

headlinejatim.com —Setiap bangsa yang besar dibentuk bukan hanya oleh sejarah kemenangan, tetapi juga oleh cara mereka merawat luka. Hari ini, 16 Juli 2025, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia genap berusia 22 tahun. Usia yang tidak muda, cukup matang untuk menegakkan keadilan yang agung. Namun juga cukup dewasa untuk mengakui bahwa kepercayaan rakyat kepadanya tengah terluka.

Mahkamah Konstitusi lahir dari rahim reformasi. Ia bukan sekadar lembaga negara, melainkan simbol dari semangat bangsa untuk tidak lagi membiarkan kekuasaan berjalan tanpa kontrol, hukum dipermainkan, dan suara rakyat dikubur diam-diam. Ia dibentuk agar tidak ada lagi hukum yang menjadi alat, melainkan pijakan bagi keadilan sejati. Mahkamah ini adalah penjaga konstitusi. Nafas dari cita-cita Republik. Cermin bagi masa depan.

Read More

Namun siapa yang menyangka, bahwa di tahun ke-22 perjalanannya, Mahkamah Konstitusi justru menjadi pusat dari badai kepercayaan itu sendiri.

 

Pilpres 2024 menjadi momen paling mengguncang dalam sejarah Mahkamah Konstitusi. Bukan karena hasil akhirnya, melainkan karena proses menuju ke sana. Karena sebuah putusan—yang tampaknya sederhana—mengubah bukan hanya syarat pencalonan wakil presiden, tetapi juga mengoyak rasa keadilan publik.

Putusan yang membuka ruang bagi pencalonan wakil presiden di bawah usia 40 tahun dianggap tak lahir dari akal hukum yang jernih, tetapi dari konflik kepentingan yang nyaris telanjang. Bahwa Ketua Mahkamah saat itu adalah paman dari salah satu calon yang diuntungkan, memperdalam luka kepercayaan publik.

Putusan itu tetap berlaku, meski sang Ketua telah dinyatakan melanggar etik berat dan dicopot dari jabatannya. Namun dalam nurani publik, suara rakyat tidak pernah sepenuhnya dibungkam. Kekecewaan mereka tidak tercetak di lembar putusan, tetapi tercatat dalam ingatan kolektif bangsa.

Kini, pada hari ulang tahunnya, Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan selebrasi. Ia membutuhkan keheningan. Ia membutuhkan pertobatan. Ia membutuhkan waktu untuk bertanya kembali: untuk siapa sebenarnya ia berdiri?

Karena Mahkamah ini bukan milik sembilan hakim. Ia milik 270 juta rakyat yang menaruh harapan bahwa hukum akan menjadi tempat berpulang saat segalanya tak adil. Ia milik generasi yang belum lahir, yang kelak akan menilai apakah Republik ini sungguh pernah adil.

Kita tidak sedang membenci lembaga ini. Kita sedang merindukannya. Merindukan MK yang tak goyah di bawah tekanan kekuasaan. Merindukan palu yang diketuk bukan untuk menutup ruang perlawanan rakyat, tetapi untuk membuka jalan menuju kebenaran.

 

Indonesia yang kita impikan adalah negeri yang menjadikan hukum sebagai cahaya, bukan bayangan. Negeri yang tidak membiarkan darah kekuasaan mengaburkan mata nurani. Negeri yang bersedia mengoreksi langkah, bukan menyembunyikan cela dengan kata-kata manis.

Dan Mahkamah Konstitusi seharusnya berdiri paling depan dalam perjuangan ini.

Kalau MK bisa bangkit dari lukanya, maka demokrasi bisa disembuhkan. Jika MK mampu menunjukkan bahwa integritas lebih penting dari relasi, dan kebenaran lebih utama dari kemenangan, maka rakyat akan kembali percaya. Bukan pada institusi semata, tetapi pada masa depan yang sedang mereka bangun bersama.

 

Hari ini, kita tidak sedang merayakan kelahiran sebuah lembaga. Kita sedang menggugat ulang janji keadilan. Kita sedang menagih pertanggungjawaban dari mereka yang pernah bersumpah atas nama konstitusi.

Karena keadilan tidak bisa ditunda. Dan harapan rakyat tak boleh lagi dikhianati.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *