Tutup Operasional Haji 2025, Menag Klaim Sukses Lewat Formula 5BPH: Publik Butuh Bukti Bukan Sekadar Narasi

Jakarta, headlinejatim.com— Kementerian Agama resmi menutup operasional haji 1446 H/2025 M. Dengan total 203 ribu lebih jemaah diberangkatkan, Menag Nasaruddin Umar menyebut penyelenggaraan haji tahun ini sebagai salah satu yang paling sukses. Namun, di tengah pujian terhadap skema “Formula 5BPH”, pertanyaan publik mengemuka: apakah reformasi yang dijanjikan betul-betul menyentuh akar persoalan atau hanya pencitraan jelang alih kewenangan ke Badan Penyelenggara Haji?

“Kita bersyukur seluruh operasional haji berjalan lancar. Semua tantangan bisa kita hadapi. Alhamdulillah,” kata Menag dalam pernyataannya di Jakarta. Namun, keberhasilan administratif perlu diuji dengan data dan respons terhadap masalah laten: jemaah sakit yang belum bisa dipulangkan, wafatnya ratusan jemaah, dan belum jelasnya skema layanan adaptif di tengah reformasi sistem Arab Saudi.

Read More

Data Operasional: Rapi di Atas Kertas, Tantangan Masih di Lapangan

Hingga akhir operasional, tercatat 203.149 jemaah Indonesia telah diberangkatkan, terbagi dalam dua gelombang ke Madinah dan Jeddah. Namun, 40 jemaah masih dirawat di berbagai rumah sakit di Arab Saudi dan 3 orang belum ditemukan. Ini menyisakan catatan serius terhadap sistem pengawasan dan mitigasi risiko.

Sebanyak 447 jemaah wafat, angka yang disebut turun dari tahun sebelumnya (461 orang), tapi tetap menunjukkan bahwa aspek kesehatan jemaah, terutama lansia dan risiko tinggi, belum tertangani optimal. Safari wukuf dan badal haji memang difasilitasi, namun publik bertanya: apakah layanan ini solusi atau sekadar “penambal” kegagalan sistem preventif?

5BPH: Warisan Kemenag atau Warisan Masalah?

Menteri Agama mempresentasikan Formula 5BPH — lima inovasi (5B), lima progresivitas (5P), dan lima harapan (5H) — sebagai capaian reformasi. Namun, pengamat menilai sejumlah program itu lebih bersifat kosmetik ketimbang transformasional.

Inovasi Baru (5B):

  • Penurunan BPIH dari Rp93,4 juta ke Rp89,4 juta diapresiasi, namun beban subsidi APBN juga meningkat. Ini menimbulkan pertanyaan soal keberlanjutan pembiayaan haji ke depan.
  • Multi syarikah dalam layanan dianggap sebagai langkah antimonopoli, namun belum jelas mekanisme pengawasan dan efektivitasnya di lapangan.
  • Publikasi daftar jemaah haji khusus adalah langkah transparan, tetapi implementasinya terbatas dan belum mengubah praktik lama dalam distribusi kuota.
  • Opsi Dam via Baznas membuka peluang bagi optimalisasi ekonomi domestik, namun audit penggunaan dan distribusi masih belum terang.
  • Kolaborasi tiga maskapai memang meningkatkan efisiensi, tapi ketimpangan layanan antar maskapai tetap dirasakan jemaah.

Layanan Progresif (5P):

  • Ekspor bumbu dan makanan siap saji naik drastis, dari 70 ton menjadi 475 ton. Namun, belum ada data konkret soal dampak ekonomi langsung terhadap UMKM lokal.
  • Layanan murur dan fast track memang memudahkan jemaah lansia, tetapi ketersediaan armada dan SOP di lapangan sering tidak konsisten.
  • Aplikasi Kawal Haji hingga Siskohat diklaim terintegrasi dan tersertifikasi ISO, tetapi sejumlah jemaah mengaku kesulitan akses informasi secara real-time.

Lima Harapan (5H):

Pemerintah mendorong percepatan revisi UU Haji, transisi kelembagaan ke Badan Penyelenggara Haji, hingga penguatan diplomasi layanan haji di Saudi. Namun, revisi regulasi dan pengalihan kewenangan ini justru membuka potensi tarik-menarik kepentingan baru jika tidak diawasi ketat.

 

Tantangan Besar: Transisi Lembaga dan Penjagaan Akuntabilitas

Tahun ini merupakan penutup tugas Kemenag sebagai penyelenggara haji. Pemerintah telah menetapkan pembentukan Badan Penyelenggara Haji melalui Perpres No. 154/2024. Namun, belum jelas bagaimana struktur, sistem pengawasan, hingga siapa yang memegang kendali utama atas anggaran triliunan rupiah tersebut.

“Jangan sampai transisi kelembagaan ini justru mewariskan masalah baru. Butuh sistem yang menjamin akuntabilitas, transparansi, dan integritas. Jangan ganti kulit tapi penyakitnya tetap,” kata seorang pengamat haji yang enggan disebut namanya.

 

Evaluasi Akhir: Dari Panggung Apresiasi ke Meja Audit Publik

Dalam pernyataan penutupnya, Menag menyampaikan apresiasi luas kepada semua pihak. Ia menegaskan, “Kita tidak mewariskan masalah, tetapi fondasi dan pengalaman.”

Namun, kritik publik justru mengarah ke substansi. Apakah fondasi itu sudah cukup kokoh? Apakah pengalaman itu didokumentasikan dengan baik dan bisa diakses untuk akuntabilitas?

Penyelenggaraan haji bukan hanya urusan teknis dan logistik. Ini soal tata kelola ibadah skala besar yang menyangkut uang publik, keselamatan warga negara, dan wajah diplomasi Indonesia di tanah suci.

Dengan transisi kelembagaan yang akan dimulai, Formula 5BPH kini diuji bukan di ruang rapat, tetapi di lapangan dan ruang publik. Apakah benar ini reformasi, atau hanya kosmetik birokrasi?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *