Surabaya, headlinejatim.com – Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur menilai jawaban Gubernur atas pandangan umum fraksi-fraksi terkait Raperda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 terlalu defensif dan minim ruang dialog. Kritik itu disampaikan dalam pandangan akhir fraksi yang dibacakan juru bicara Yordan M. Batara Goa dalam sidang paripurna, Senin (7/7/2025).
Yordan menegaskan, alih-alih terbuka dan akomodatif, Gubernur justru mengesankan sikap tertutup terhadap usulan yang telah diajukan secara konstruktif oleh legislatif, terutama dari Fraksi PDIP. Hal itu disebutkan pada jawaban Gubernur atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi DPRD terkait Raperda RPJMD Jawa Timur Tahun 2025-2029 yang disampaikan dalam Sidang Paripurna tanggal 14 Mei 2025.
“Beberapa isu strategis yang seharusnya menjadi ruang temu antara eksekutif dan legislatif justru dihindari dengan jawaban yang normatif,” ujar Yordan.
Salah satu kritik utama Fraksi PDIP menyasar target pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya dipatok 1,87% per tahun. Fraksi menilai angka itu tidak realistis, mengingat rata-rata pertumbuhan PAD Jatim dalam lima tahun terakhir menurut BPS mencapai 6,9%.
“Dengan target serendah itu, bagaimana mungkin kita bisa mendorong pembiayaan pembangunan yang pro-rakyat?” tegas Yordan.
Menurutnya, mempertahankan proyeksi konservatif tanpa argumentasi teknis hanya akan menutup ruang fiskal untuk pembiayaan program prioritas yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Fraksi PDIP juga menyoroti minimnya perhatian terhadap indikator ketimpangan dan risiko bencana. Gubernur dinilai terlalu terpaku pada Indeks Gini, padahal wilayah Jawa Timur memiliki disparitas pembangunan yang mencolok.
“Gerbangkertosusila menyumbang 46% PDRB provinsi, sementara Madura hanya 5%. Tapi indikator yang bisa menunjukkan ketimpangan wilayah seperti Indeks Theil malah diabaikan,” ujar Yordan.
Hal serupa terjadi dalam isu kebencanaan. Laporan BNPB 2024 menyebut 31 dari 38 kabupaten/kota di Jatim masuk kategori risiko tinggi bencana. Namun indikator kebencanaan belum masuk prioritas dalam RPJMD.
Fraksi juga kecewa karena tak ada satu pun respon terhadap usulan indikator ketahanan keluarga. Padahal, Jawa Timur masih mencatat angka perkawinan anak usia 16 hingga 18 tahun sebesar 5,6%, artinya tertinggi ketiga di Pulau Jawa.
“Ini bukan hanya soal data, tapi tentang masa depan generasi muda kita. Mengabaikannya berarti melewatkan akar dari kemiskinan struktural yang selama ini kita lawan bersama,” tutur Yordan.
Kritik terakhir menyasar aspek layanan dasar seperti pendidikan vokasi dan akses kesehatan. Jawaban Gubernur dinilai normatif, tanpa komitmen anggaran maupun langkah reformasi layanan publik.
“Pengangguran lulusan SMK di Jatim 8,19%, padahal rata-rata provinsi hanya 4,38%. Ini sinyal kuat bahwa pendidikan vokasi kita tidak sinkron dengan dunia kerja,” kata Yordan yang juga anggota Komisi A itu.
Ia juga menyinggung ketimpangan akses layanan kesehatan antara wilayah perkotaan dan kawasan pesisir serta kepulauan. Sayangnya, tak ada terobosan dalam tata kelola RSUD maupun penguatan layanan puskesmas.
Di akhir pandangan, Fraksi PDIP meminta agar Gubernur membuka ruang revisi substansi RPJMD sebelum pengesahan. “Kami ingin dokumen ini benar-benar menjadi alat pembangunan, bukan sekadar formalitas lima tahunan,” pungkas Yordan.