headlinejatim.com —Tidak semua hari tercatat dalam kalender nasional. Tidak semua perayaan disambut dengan bendera, seremoni, atau pidato pejabat. Sebagian hari hidup diam-diam. Tumbuh dari bisik-bisik. Menyebar melalui ketidakteraturan. Muncul dari keinginan manusia untuk merasa utuh dan merdeka. Seperti 2 Juni. Sebuah hari yang tidak resmi, namun dirayakan oleh sebagian orang sebagai Hari Tanpa Celana Dalam Sedunia.
Di permukaan, peringatan ini terdengar lucu. Bahkan absurd. Tapi di balik lelucon yang tampak dangkal, tersimpan renungan yang jauh lebih dalam. Ini bukan tentang provokasi. Bukan soal pakaian dalam yang ditanggalkan begitu saja. Ini tentang tubuh. Tentang batas yang selama ini dibentuk oleh norma. Tentang kenyamanan yang diam-diam direnggut oleh aturan yang tidak pernah kita pilih sendiri.
Bukan Tentang Telanjang. Tapi Tentang Melepas.
Sebagian orang mencibirnya. Sebagian lain menertawakan. Namun ada juga yang memaknainya dalam diam. Mereka tidak merayakannya di ruang publik. Tidak menjadikannya bahan unggahan atau sensasi. Mereka hanya diam. Melepas satu lapisan dari tubuh. Dan membiarkan diri merasa lebih ringan. Lebih jujur. Lebih merdeka.
Hari Tanpa Celana Dalam bukan ajakan untuk menantang sopan santun. Ia bukan panggung pamer. Ia lebih mirip ruang sunyi. Tempat seseorang menyapa dirinya sendiri dan bertanya, “Sudah berapa lama aku mengenakan hal-hal yang tidak membuatku nyaman, hanya karena aku takut dinilai?”
Asal-Usul yang Tanpa Tuan
Tidak ada satu tokoh yang bisa diklaim sebagai penggagasnya. Tidak ada organisasi yang mengklaim kepemilikan atas hari ini. Tidak ada sejarah formal yang tertulis rapi. Tapi dari jejak digital yang muncul sejak awal 2000-an, kita tahu bahwa ide ini lahir di lorong-lorong forum internet. Di kota-kota urban seperti New York, Berlin, atau Amsterdam. Di tengah kebosanan dan keresahan anak-anak muda terhadap konstruksi sosial yang terlalu sempit dalam mengatur tubuh dan identitas.
Tanggal 2 Juni dipilih bukan karena peristiwa besar apa pun. Hanya karena hari itu berada di awal musim panas di belahan bumi utara. Ketika cuaca cukup hangat. Ketika tubuh bisa diajak berdamai dengan alam. Ketika orang mulai ingin lebih jujur terhadap dirinya sendiri.
Tubuh yang Selalu Diatur
Sejak kecil, kita diajarkan untuk menutupi tubuh. Bukan hanya demi perlindungan, tapi demi norma. Kita memakai seragam, mematuhi kode pakaian, menyesuaikan bentuk, warna, dan lapisan. Bahkan pakaian dalam pun tidak luput dari penilaian moral. Kita dilatih untuk percaya bahwa sopan santun harus dibentuk dari luar ke dalam. Padahal, sering kali, justru dari dalam ke luar-lah kenyamanan sejati itu muncul.
Hari Tanpa Celana Dalam adalah bentuk penolakan yang lembut terhadap itu semua. Sebuah protes kecil. Sunyi. Tanpa spanduk. Tanpa orasi. Tapi bermakna. Ia tidak memaksa siapa pun untuk mengikuti. Tapi ia memberi ruang bagi siapa saja yang ingin mengatakan, “Hari ini, aku memilih untuk nyaman. Bukan karena disuruh. Tapi karena aku ingin.”
Kejujuran yang Dimulai dari Tubuh
Banyak orang mengira kebebasan adalah soal suara. Tentang hak berbicara. Tentang pilihan politik. Tapi sering kali, kebebasan yang paling jujur justru dimulai dari tubuh. Dari hal-hal sederhana yang kita kenakan. Dari lapisan yang kita pertahankan hanya karena takut dianggap tidak wajar.
Pada akhirnya, Hari Tanpa Celana Dalam bukan tentang kulit. Bukan tentang bagian tubuh yang tidak tertutupi. Melainkan tentang kejujuran. Tentang keberanian untuk merasa tanpa perantara. Tentang tubuh yang tidak ingin terus diatur. Tentang diri yang ingin bebas, meski hanya dalam satu hari dan satu pilihan yang sangat pribadi.
Hari yang Tak Dicatat, Tapi Dikenang
Mungkin 2 Juni tidak akan pernah ditetapkan sebagai hari besar. Tidak akan ada pidato. Tidak akan ada logo resmi. Tapi barangkali justru karena itu, ia begitu tulus. Ia tidak butuh pengakuan. Karena ia hidup di ruang terdalam manusia. Di sanubari yang lelah berpura-pura nyaman. Di tubuh yang ingin bernapas lega.
Dan bukankah itu bentuk kebebasan yang paling hakiki? Ketika seseorang memilih untuk tidak menutupi apa pun, bahkan dari dirinya sendiri.