30 Juni: Hari Ketika Kita Menyadari Telah Terlalu Lama Menatap Layar

headlinejatim.com —Ada hari-hari dalam setahun yang membuat kita berpikir ulang tentang hidup. Tanggal 30 Juni bukan libur nasional, bukan pula hari besar keagamaan. Tapi di satu titik, dunia sepakat untuk menandainya sebagai Hari Media Sosial Sedunia hari untuk merenungi bagaimana dunia digital telah mengubah arah hidup kita.

Bukan karena kita membutuhkannya, tapi karena diam-diam kita telah tunduk padanya.

Read More

Dari Kebiasaan Menyapa, Kini Kita Mengetuk Layar

Sejak media sosial pertama kali menjamur dua dekade lalu, hidup kita berubah secara perlahan tapi pasti. Dahulu, kita menyapa tetangga. Kini kita scroll. Dahulu kita mengobrol, kini kita swipe. Dahulu kita diam untuk mendengarkan, kini kita diam karena tenggelam dalam layar.

30 Juni bukan perayaan. Ia adalah cermin. Hari ini dunia seharusnya tidak hanya berpesta, tetapi juga bertanya: apakah kita benar-benar hidup, atau hanya sekadar hadir di linimasa?

Media Sosial Tidak Pernah Netral

Di balik setiap unggahan, ada logika tak terlihat yang bekerja. Ia bernama algoritma.

Algoritma tidak peduli pada kebenaran. Ia hanya peduli pada keterlibatan. Semakin banyak kita bereaksi, semakin banyak ia memberi. Semakin marah kita menanggapi, semakin besar jangkauannya. Pada akhirnya, kita bukan lagi manusia yang memilih informasi. Kita hanya objek yang dipilih oleh sistem.

Dan ironisnya, semua itu dilakukan dengan sukarela. Kita bahkan menyetor data, lokasi, emosi, hingga jadwal tidur hanya agar tak tertinggal tren terbaru.

Mari Bicara Tentang Sunyi yang Ramai

Menurut DataReportal (2025), lebih dari 5 miliar manusia di dunia aktif menggunakan media sosial. Rata-rata waktu penggunaan mencapai lebih dari dua jam setiap hari. Tapi semakin ramai dunia digital, semakin banyak pula orang merasa sunyi di dunia nyata.

Media sosial menciptakan ilusi kehadiran. Kita dikelilingi suara, tetapi kehilangan dialog. Kita dihujani notifikasi, tetapi tetap merasa sendiri. Kita mengenal ratusan nama, tetapi lupa cara mengenal secara utuh.

30 Juni: Hari Ketika Dunia Mengajukan Pertanyaan

Mashable mendeklarasikan Hari Media Sosial pada 2010 bukan untuk memuja teknologi. Tapi untuk mengingatkan bahwa di tengah inovasi, manusia tetap harus menjadi pusatnya. Bahwa kendali atas hidup digital bukan milik platform, tetapi kita.

Tanggal ini dipilih bukan karena tragedi, bukan karena peristiwa monumental, tapi karena satu alasan sederhana: di pertengahan tahun, manusia butuh istirahat. Butuh berhenti sejenak dan bertanya: “Apa yang sedang kita bangun di dunia digital ini?”

Apakah ruang kolaborasi atau medan kompetisi?

Apakah wadah inspirasi atau arena pencitraan?

Apakah jendela empati atau cermin ego?

Waktu untuk Mengatur Ulang

 

Hari Media Sosial Sedunia seharusnya bukan sekadar hari untuk membuat unggahan tentang media sosial. Ia adalah hari untuk tidak mengunggah apapun, dan sejenak menunduk pada kenyataan. Menyadari bahwa manusia tidak diciptakan untuk terus dibandingkan. Bahwa hidup bukan sekadar like, views, atau followers.

Kita bisa tetap terhubung tanpa kehilangan arah.

Kita bisa tetap berbagi tanpa melukai.

Kita bisa tetap menjadi digital tanpa kehilangan sisi manusiawi.

 

Saatnya Berhenti Mencari Validasi, dan Mulai Membangun Makna

30 Juni bukan hari yang heboh. Tapi justru dalam kesederhanaannya, hari ini penting. Ia adalah suara sunyi di tengah dunia yang bising. Ia mengajak kita duduk sejenak, jauh dari layar, dan mendengarkan suara yang barangkali sudah lama kita abaikan: suara dari dalam diri.

Karena hidup yang sejati bukan ada di balik layar, tetapi di depan mata di dunia nyata yang menunggu kita untuk hadir sepenuhnya.

Selamat Hari Media Sosial Sedunia. Gunakan hari ini untuk tidak hanya online, tapi juga ada.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *