Jakarta, headlinejatim.com – Setelah bertahun-tahun hidup dalam gelap, ribuan keluarga di pelosok negeri akhirnya merasakan terang. Untuk pertama kalinya, listrik mengalir ke 5.383 rumah tangga di 47 desa terpencil di Indonesia, berkat peresmian 47 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang tersebar di 11 provinsi.
Di balik deretan panel surya yang kini berdiri di atap-atap dan lapangan desa, tersembunyi kisah panjang perjuangan negara menghadirkan keadilan energi di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Bagi anak-anak di desa perbukitan Nusa Tenggara, listrik bukan sekadar fasilitas, tapi pintu menuju masa depan. “Dulu saya belajar pakai pelita, sekarang bisa pakai lampu terang sampai malam,” kata Miasa, seorang siswi SMP di Desa Lenangguar, Sumbawa.
Kisah serupa muncul dari banyak titik 3T di Indonesia. Rumah sakit kecil kini bisa menyimpan vaksin, warung bisa buka lebih lama, dan pelaku UMKM desa mulai merintis usaha berbasis digital. Listrik menghidupkan lebih dari sekadar lampu, tapi menghidupkan harapan.
Presiden Prabowo: Energi Bersih adalah Revolusi Keadilan

Presiden RI Prabowo Subianto, dalam peresmian proyek PLTS dan pembangkit EBT lainnya yang dipusatkan di PLTP Ijen, Bondowoso, menyebut pembangunan energi terbarukan sebagai revolusi keadilan sosial.
“Dengan energi tenaga surya, desa-desa terpencil, pulau-pulau kecil, bahkan perkampungan di lereng gunung bisa swasembada energi. Inilah bentuk keadilan sejati,” tegas Presiden, Kamis (26/6).
Lebih dari sekadar target pembangunan, Prabowo menyebut PLTS sebagai sarana pemutus ketimpangan. Ia menekankan bahwa program ini bukan hanya menjawab kebutuhan listrik, tapi juga memangkas biaya logistik dan mempercepat kemandirian desa.
“Kita tidak hanya menuju nol emisi karbon di 2060. Tapi yang lebih penting, kita hadirkan energi tanpa membebani rakyat, tanpa menunggu jaringan kabel besar masuk. Ini lompatan sosial.”
Dalam kesempatan itu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyampaikan bahwa pembangunan 47 PLTS ini menjadi bukti nyata gotong royong antara negara, BUMN, dan swasta dalam membawa perubahan ke titik-titik paling terpencil Indonesia.
“Program ini bukan hanya soal listrik. Ini soal hak rakyat. Soal anak-anak yang bisa bermimpi lebih jauh, soal ibu-ibu yang bisa menjahit dengan mesin, soal warung yang bisa buka malam hari,” ujar Darmawan.
Total kapasitas terpasang dari PLTS ini mencapai 27,8 megawatt (MW). Bagi PLN, ini bukan pencapaian bisnis, melainkan misi peradaban.
Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa proyek PLTS akan menjadi tulang punggung peningkatan rasio elektrifikasi di desa-desa tanpa akses listrik.
“Insyaallah dalam 4-5 tahun ke depan, tidak ada lagi desa di Indonesia yang hidup dalam gelap. Kita bangun PLTS di mana pun negara belum hadir,” ujar Bahlil.
Proyek ini dijalankan dengan kolaborasi antara pemerintah pusat, PLN, swasta, dan masyarakat lokal. Pendekatan ini membuat pembangunan PLTS menjadi lebih efisien, cepat, dan menyatu dengan kebutuhan warga.
Menyalakan Masa Depan Indonesia dari Pinggiran
Pembangunan 47 PLTS ini menjadi penanda penting bahwa transisi energi di Indonesia tidak hanya berbicara soal kota besar dan teknologi mutakhir. Ia berbicara soal desa terpencil yang kini bercahaya, soal anak-anak yang belajar dengan lampu terang, dan tentang kesetaraan yang dirasakan, bukan dijanjikan.
Dari perbatasan Kalimantan, pesisir NTT, hingga pegunungan Papua, cahaya kini menyala. Dan bersama cahaya itu, masa depan baru menyala pula untuk seluruh rakyat Indonesia.