Kue Tradisional Malam Jumat Kliwon, 26 Juni 2025: Jejak Rasa dan Makna Leluhur di Awal Tahun Hijriah

headlinejatim.com —Malam itu hening. Angin berembus perlahan membawa aroma tanah yang baru saja diguyur gerimis. Langit tampak bersih, seolah memberi ruang luas bagi doa-doa yang diam-diam naik dari bumi. Pada tanggal 26 Juni 2025, malam itu bukan sekadar malam biasa. Ia adalah malam Jumat Kliwon. Sebuah momen yang dalam kebudayaan Jawa diyakini sebagai waktu yang sarat kekuatan spiritual. Dan lebih dari itu, malam tersebut juga menandai datangnya 1 Muharram 1447 Hijriah. Awal tahun baru Islam. Awal hijrah baru.

Di banyak sudut desa, terutama di tanah Jawa, malam seperti ini tak pernah dibiarkan berlalu begitu saja. Di dapur-dapur tua yang masih berasap, tangan-tangan ibu mulai sibuk menyiapkan sesuatu. Bukan pesta. Bukan keramaian. Melainkan kue-kue sederhana yang diwariskan oleh leluhur. Dibuat dengan hati yang tenang, dibumbui niat yang tulus, dan disusun rapi di atas tampah. Karena malam Jumat Kliwon bukan hanya tentang hitungan kalender, melainkan tentang menyambung kembali tali batin dengan yang Maha Ada.

Read More

 

Apem: Bundar Ampunan, Lembut Pembersih Diri

Kue apem mungkin terlihat sederhana. Namun dalam tradisi Jawa, ia adalah simbol pengakuan dan harapan. Kata “apem” diyakini berasal dari “afwan”, bahasa Arab yang berarti ampunan. Dalam banyak tradisi, apem dibuat pada malam-malam sakral sebagai bentuk permohonan ampun kepada Tuhan. Ia menjadi lambang bahwa manusia adalah makhluk yang tak luput dari salah, namun selalu diberi kesempatan untuk kembali.

Apem dibuat dalam jumlah ganjil. Tujuh, sembilan, atau sebelas. Disusun di atas daun pisang, lalu dibagikan kepada tetangga atau ditaruh di sudut rumah dengan lilin kecil menyala. Tidak ada mantra. Hanya niat. Hanya harap agar hidup yang akan dijalani di tahun yang baru menjadi lebih baik, lebih bersih, dan lebih penuh cahaya.

 

Ketan dan Wajik: Melekat pada Kebaikan dan Doa

Beras ketan adalah bahan utama dalam banyak kue tradisional Jawa. Teksturnya yang lekat melambangkan harapan agar manusia senantiasa melekat pada nilai-nilai kebaikan. Dalam bentuk wajik, ketan dipadukan dengan gula merah dan santan. Manisnya tidak mencolok. Lembut dan dalam. Seperti doa-doa yang dibisikkan dalam sunyi malam.

Di beberapa tempat, wajik disajikan dalam tumpeng kecil saat slametan. Di pesantren, ketan hadir dalam mujahadah malam Jumat Kliwon sebagai lambang ikatan antara santri dan ilmu, antara manusia dan Tuhan. Membuat ketan dan wajik tidak bisa tergesa-gesa. Butuh kesabaran. Butuh ketenangan. Mungkin karena itulah ia diajarkan turun-temurun sebagai pelajaran kesabaran dalam hidup.

 

Klepon dan Putu: Manis yang Tersembunyi, Hikmah yang Dalam

Klepon adalah bola kecil dari ketan hijau berisi gula merah yang meleleh ketika digigit. Putu adalah kue dari tepung beras, dikukus dalam potongan bambu, juga berisi gula merah. Keduanya sama. Keduanya mengajarkan hal yang serupa. Bahwa kebaikan sering kali tidak tampak dari luar. Bahwa keindahan tidak selalu datang dalam bentuk yang mencolok.

Malam Jumat Kliwon, terutama yang jatuh di awal Muharram, menjadi waktu yang tepat untuk menyajikan kue seperti ini. Ia menjadi pengingat bahwa kehidupan ini seperti klepon. Lembut di luar, penuh kejutan di dalam. Kita tidak pernah tahu apa yang tersembunyi dalam setiap peristiwa. Namun jika kita menjalaninya dengan ketulusan, maka manisnya akan terasa pada waktunya.

 

Ritual Rasa yang Melampaui Zaman

Tradisi membuat kue di malam Jumat Kliwon bukan semata-mata kegiatan kuliner. Ia adalah ritual rasa. Ia adalah bentuk tafakur. Dalam masyarakat Jawa, malam Jumat Kliwon dianggap sebagai malam terbukanya gerbang spiritual. Malam yang tepat untuk berdoa, bertafakur, membersihkan rumah batin. Oleh karena itu, kue-kue tersebut dibuat bukan sekadar untuk dimakan, tetapi untuk menyampaikan niat dan harapan melalui simbol rasa.

Dan ketika malam Jumat Kliwon itu bertepatan dengan 1 Muharram, kekuatannya menjadi berlipat. Muharram adalah bulan suci dalam Islam. Bulan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Sebuah perjalanan besar yang menjadi simbol perubahan, pengorbanan, dan keberanian. Hijrah bukan hanya tentang berpindah tempat. Hijrah adalah berpindah jiwa. Dari gelap menuju terang. Dari ragu menuju yakin. Dari kebiasaan lama menuju kehidupan yang lebih bermakna.

 

Kue, Hijrah, dan Kesadaran Dunia

 

Tradisi ini bukan milik Jawa semata. Banyak budaya di dunia yang menggunakan kue sebagai simbol doa. Di Jepang, mochi disajikan saat tahun baru sebagai harapan keberuntungan. Di India, ladoo dibuat sebagai persembahan dalam upacara keagamaan. Di Timur Tengah, maamoul dihidangkan saat hari raya sebagai simbol keberkahan. Semua budaya mengenal bahwa makanan bisa menjadi medium spiritual. Dan di Jawa, malam Jumat Kliwon menjadi panggungnya.

 

Menemukan Diri dalam Tradisi

Dalam keheningan malam 26 Juni 2025, ketika orang-orang mungkin sibuk dengan layar dan waktu yang berlalu begitu cepat, ada rumah-rumah kecil yang masih menjaga nyala. Masih ada dapur-dapur yang menanak ketan dengan sabar. Masih ada ibu-ibu yang membungkus klepon dengan harapan. Masih ada suara lirih doa yang keluar bersama aroma kue apem.

Tradisi ini bukan untuk dikultuskan, bukan pula untuk dijadikan romantisme semata. Tetapi untuk dihayati. Untuk dijaga. Karena dari situlah kita tahu siapa kita. Dari kue-kue sederhana itu, kita belajar tentang hidup. Tentang ikhlas. Tentang melekat pada kebaikan. Tentang keindahan yang tersembunyi. Tentang maaf yang bulat dan utuh.

Dan pada akhirnya, kita sadar. Bahwa warisan terbaik dari leluhur bukan hanya rumah atau tanah, melainkan kebijaksanaan yang dibungkus dalam rasa.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *