headlinejatim.com— Bukan hari libur nasional. Bukan pula hari besar keagamaan. Namun bagi banyak orang di dunia, hari ini, memiliki makna yang dalam. Hari ketika manusia kembali diingatkan bahwa cinta adalah bahasa universal yang tak pernah kehilangan relevansi. Hari ini disebut Global Beatles Day, peringatan tak resmi untuk mengenang warisan empat anak muda dari Liverpool yang mengubah dunia bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan musik dan makna.
Sebuah Lagu untuk Dunia yang Terluka
Tepat 25 Juni 1967, dunia menyaksikan siaran televisi satelit internasional pertama bertajuk Our World. Dari Inggris, The Beatles tampil di hadapan ratusan juta penonton dari 25 negara, menyanyikan lagu yang akan menjadi semacam doa global: All You Need Is Love.
Lagu itu sederhana. Tidak rumit. Tidak teknis. Tapi justru di situlah kekuatannya. Di tengah ketegangan Perang Dingin, perang Vietnam yang belum usai, dan dunia yang digelayuti ketidakpastian, lirik “All you need is love, love is all you need” menjadi semacam pelukan hangat bagi umat manusia.
Saat itu, cinta bukan kata yang sentimental. Ia adalah keberanian. Ia adalah perlawanan terhadap kekerasan, ketamakan, dan dominasi.
Dari Liverpool untuk Dunia: Siapa The Beatles?
The Beatles adalah John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr. Mereka bukan lahir dari istana atau keluarga penguasa. Mereka anak-anak kelas pekerja dari Liverpool, pelabuhan kecil di Inggris yang dilanda krisis pascaperang. Namun dari sudut kota itu, mereka menyusun mimpi, menciptakan suara, dan memberi dunia harapan.
Nama The Beatles sendiri adalah permainan kata antara beetles (kumbang) dan beat (ketukan irama). Sebuah nama yang merangkum semangat zaman, tentang gerakan baru, keberanian mengeksplorasi, dan irama yang mampu menggerakkan dunia.
Mereka memulai karier dari klub-klub kecil di Hamburg dan Liverpool. Namun dalam waktu singkat, mereka menjadi suara satu generasi. Lagu-lagu mereka bukan hanya menemani, tapi juga membentuk cara berpikir, cara mencinta, dan cara melawan ketidakadilan. The Beatles membawa kesadaran bahwa musik bukan pelarian, melainkan bentuk perlawanan yang paling manusiawi.
Dunia Hari Ini: Ketika Cinta Kembali Menjadi Kebutuhan Mendesak
Enam dekade telah berlalu sejak lagu itu diperdengarkan kepada dunia. Namun irama dan pesannya justru semakin relevan.
Hari ini, dunia kembali berdiri di titik genting. Perang kembali berkecamuk—di Gaza, di Ukraina, di Sudan. Miliaran manusia menghadapi ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, persekusi terhadap keyakinan, dan politik identitas yang memecah belah.
Media sosial dibanjiri kebencian, algoritma membentuk sekat-sekat semu, dan empati perlahan terkikis oleh kecepatan informasi.
Dalam dunia seperti ini, cinta bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan paling mendesak. Bukan cinta dalam pengertian romantis, tapi cinta yang mengandung keberanian untuk mengerti, untuk tidak membalas kebencian dengan kebencian, dan untuk merawat kemanusiaan dalam diri kita.
Global Beatles Day datang sebagai pengingat bahwa ada kekuatan dalam kesederhanaan. Bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari undang-undang atau senjata, tapi bisa juga dari nada, dari lirik, dan dari hati yang bersedia mendengarkan.
Indonesia dan Simfoni Keberagaman
Di Indonesia, pengaruh The Beatles tidak sekadar hadir dalam bentuk musik atau gaya berpakaian. Ia hidup dalam napas toleransi, dalam semangat keberagaman yang terajut dari Sabang sampai Merauke.
Ketika Indonesia diuji oleh polarisasi politik, krisis sosial, dan menguatnya ekstremisme digital, semangat Beasian.
Dan keberanian itu, hari ini, kembali dibutuhkan oleh dunia.